Pemerintah mesti mendorong dan mendampingi usaha mandiri masyarakat, jangan hanya mementingkan citra kepemimpinan.
Peneliti Bidang Pembangunan Sosial dan Tatakelola Pemerintahan, Marzi Afriko, melihat ketidaksesuaian antara hasil statistik dengan realita memang bisa terjadi jika disurvei secara makro.
Mengantisipasi hal itu, perlu pendekatan antropologis dan etnografis dalam survei selanjutnya di kawasan perkotaan. “Pendataan di pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Ini terkait urbanisme warga. Fenomena urbanisasi cenderung membuat satu rumah di perkotaan dihuni lebih dari satu KK,” sebutnya kepada Pikiran Merdeka via surat elektronik.
Marzi pun tidak setuju soal kemungkinan masih adanya masyarakat yang menutupi kemampuannya agar dapat bantuan atau masyarakat yang dituding malas. Masyarakat bersikap demikian, menurutnya, akibat didorong masa lalu buruk.
Ia menyebutkan banyak hal terjadi sejak Indonesia merdeka, mulai dari pergantian kepempimpinan di Aceh, pemberontakan Darul Islam, GAM, era rehabilitasi dari bencana tsunami, hingga masa membangun pascadamai.
Hampir semua masa itu tak memberikan pedoman baik bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat frustasi dan iri dengan ketimpangan kesejahteraan para pejabat elit, elit politik, dan elit lokal yang menurut mereka memiliki kesempatan dan aset yang sama dengan mereka.
“Selebihnya para elit dekat dengan kekuasaan dan sumber-sumber keuangan untuk mereka korup, maka lahirnya penyakit ketidakjujuran itu. Sebab itulah masyarakat sedapat mungkin mencari cara agar bisa mendapatkan bantuan dari program pemerintah,” urai Marzi.
Sejatinya, kata dia, Pemerintah Aceh atau Pemko Banda Aceh bertanggungjawab mendorong berbagai fasilitas kemudahan usaha. Tak hanya sekedar menciptakan lapangan pekerjaan. Menurutnya, pekerjaan paling mudah dilakukan oleh masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan adalah menjadi pedagang.
“Lalu bagaimana itu difasilitasi dan diberi jaminan bahwa usaha-usaha tersebut tidak berbenturan dengan kepentingan umum dan juga syariat Islam yang digadang-gadang oleh Pemerintah Banda Aceh sebagai landasan pembangunan hari ini.”
Mengatasi kemiskinan perkotaan menurut Marzi tak cukup dengan memberi bantuan tunai. Sementara perihal mendasar seperti di kesehatan dan kependidikan sudah coba diatasi oleh Pemerintah Pusat melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan di bawah koordinasi Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
“Tinggal bagaimana setelah masyarakat miskin memiliki jaminan dasar, mereka diperkuat dengan dukungan usaha. Masyarakat miskin di Banda Aceh juga ada berprofesi nelayan, yang notabene masih terjerat praktek pertokean (tengkulak ikan), belum bisa lepas,” sebutnya.
Baca: Pendataan Tak Akurat, Bantuan Untuk Warga Kurang Mampu Meleset
Di tingkat provinsi pun, tandasnya, belum ada gebrakan dari Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Aceh dan Banda Aceh untuk melahirkan langkah strategis penanggulangan kemiskian bersifat perkotaan.
“Sudahkah TKPK Aceh dan Banda Aceh menyusun skema kerja bersama, siapa menangani apa, apa saja instansi pemerintah yang diarahkan untuk itu, bagaimana mereka menyusun visi bersama, belum terlihat langkah-langkah yang ‘canggih’ ke arah itu.”
Jika sinergi itu bisa dilakukan, dia yakin, akan membuahkan hasil, misalnya tukang becak tidak akan lagi memalak para wisatawan. Mestinya dengan inovasi pembangunan, para tukang becak sudah bisa menerapkan sistem argo, seperti Gojek di Jakarta dan daerah lain di Indonesia.
Gebrakan itu, sebut Marzi, mestinya sudah ada sejak Aceh memiliki kesempatan memperoleh dana Otonomi Khusus dan Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi yang berjalan selama 20 tahun (2008-2027).
“Tunggu apa lagi, Pemerintah Banda Aceh harus ‘menggeber’ itu, waktu tidak lama lagi hingga tahun 2027 dana besar itu akan selesai. Kesan saya pemerintah Banda Aceh tidak berfikir inovatif, menonjolkan sisi syiar keagamaan, membangun pusat wisata, tanpa seiring dengan membangun ekonomi,” tukasnya.
Belum ada komentar