Berbagai dugaan penyimpangan menyeruak dalam dana hibah untuk pembangunan Masjid Agung Bireuen. Ini riwayatnya…
Panitia Masjid Agung Bireuen dipanggil pihak Kejaksaan Tinggi Aceh terkait penerimaan hibah Rp9 miliar dari Pemerintah Kabupaten Bireuen tahun anggaran 2015. Kuat dugaan, terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana hibah untuk pembangunan rumah Allah itu.
Kabarnya, laporan ini berasal dari jamaah masjid itu ke penegak hukum. Mereka mensinyalir panitia pembangunan masjid bersekongkol dalam kegiatan pengadaan keramik hingga adanya bagi-bagi uang untuk oknum dewan.
Sejumlah panitia pembangunan Masjid Agung Bireuen yang ditemui Pikiran Merdeka mengakui dirinya telah diperiksa penyidik Kejati Aceh. Namun, mereka membantah jika dituding ada permainan dalam pembelian marmar yang disebut-sebut barang impor dari Turki.
Sekretaris Pembangunan Masjid Agung Bireuen, Said Abdurahman mengaku telah dimintai keterangan oleh penyidik Kejati Aceh terkait aliran dana hibah Rp9 miliar untuk pembangunan masjid tersebut. “Saya telah menyampaikan dokumen yang diminta penyidik, termasuk laporan pertanggungjawaban penggunaan dana,” sebutnya.
Said Abdurrahman bersikukuh tak ada permasalahan dalam penerimaan bantuan hibah maupun pada pelaksanaan kegiatan. Menurut dia, hingga kini tidak ada pelanggaran maupun kesalahan apapun di lapangan yang dilakukan pengurus masjid. Ia lantas menduga ada pihak-pihak dari kalangan pengurus merasa tidak puas dengan laporan yang mereka sampaikan.
“Karena tidak puas, mungkin dilaporkan ke Kejati Aceh, namun sampai sekarang belum ditemukan penyimpangan apapun oleh penyidik,” ujar Said Abdurahman yang juga Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Bireuen ini.
Terkait kebenaran informasi yang berkembang bahwa keramik yang digunakan untuk lantai masjid bukan produk impor, Said Abdurrahman tidak bisa memastikannya. Ia tak menampik adanya informasi tersebut. Namun, kata dia, pembelian keramik tersebut diurus oleh tim teknis dan di luar sepengetahuannya.
“Kalau masalah sumber marmar itu darimana, saya benar-benar tidak tahu. Sebaiknya tanyakan langsung ke pak Yan Fitri selaku tim teknis,” saran mantan Camat Kota Juang ini.
Senada dengan penjelasan Saed Abdurrahman, Bendahara Pembangunan Masjid Agung Bireuen H Jamaluddin mengakui turut diperiksa oleh jaksa. “Benar, saya sudah memenuhi panggilan dari Kejati Aceh terkait penerimaan dana hibah Rp9 miliar dari Pemkab Bireuen untuk pembangunan Masjid Agung Bireuen,” ujar H Jamaluddin kepada Pikiran Merdeka, Selasa, 3 Mei 2016.
Ia menduga, pemanggilan dirinya dan panitia pembangunan masjid yang lain, karena ada pihak yang merasa tidak puas dengan laporan keuangan yang mereka sampaikan. Di samping itu, dengan profesinya sebagai pengusaha, banyak kalangan menduga dirinya telah memanfaatkan dana yang tersimpan di rekening pembangunan masjid untuk kepentingan pribadinya.
Atas laporan tersebut, Jamaluddin mengaku sangat menyesalkan. Ia menilai, tidak sepatutnya masalah tersebut langsung dilaporkan ke Kejati Aceh, tanpa proses verifikasi kepada pihak panitia pembangunan masjid. “Jika tidak puas kenapa ditanyakan langsung ke kami, atau dilaporkan ke Kejari Bireuen atau Polres Bireuen, kan tidak mesti harus ke Kejati,” ungkapnya.
Informasi yang berkembang, pembelian marmar untuk lantai masjid, konon harus diimpor dan ditangani langsung oleh Bupati Bireuen Ruslan M Daud. Informasi itu dikuatkan dengan adanya bukti yang menunjukkan pembelian keramik dilakukan sebelum dana hibah tersebut disetujui oleh DPRK dalam APBK-P 2015. Kala itu, Bupati Ruslan ngotot menggolkan pengucuran dana hibah kepada pengurus masjid. Padahal, Kabupaten Bireuen kala itu mengalami defisit anggaran.
Namun, informasi tersebut dibantah oleh Jamaluddin. “Pembelian marmar itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan bupati,” sanggah pengusaha yang akrab di sapa Haji Jama 88 ini.
Dia justru mengaku sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pembelian keramik seharga Rp4 miliar itu. “Keramik itu dibeli oleh anaksaya, Jon,” katanya.
Belum ada komentar