Perempuan keterbelakangan mental ini meninggal sehari usai dipukul ibu tirinya. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh Utara pun semakin bertambah.
Oleh Cut Islamanda
Jumat 1 April 2016 jam 9 pagi, Nuriah (28) sedang buang air kecil di kamar mandi berdinding tepas rumbia di belakang rumahnya. Ia juga hendak mencuci kelambu dengan seember air di tangannya.
Tiba-tiba, ia didatangi Tizalikha (41) ibu tirinya. Ia disuruh mandi sendiri, tak perlu harus dimandikan ibu tiri seperti biasanya.
Namun Tizalikha berang karena anak dari istri pertama suaminya itu tak mau mandi. Lantas diambilnya sebatang kayu bakar dan memukul anak tirinya yang terduduk berdiam diri di kamar mandi.
Nuriah dibabat lima kali masing-masing di bahu, punggung, tangan, pantat dan tulang rusuk kiri. Ia menjerit kesakitan sembari menyirami tubuhnya dengan air untuk meredam emosi ibu tirinya.
Teriakan Nuriah didengar ayah kandungnya, Abdullah (50), yang merupakan Teungku Imum di Gampong Beurandang Dayah, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara, tempat mereka tinggal selama ini.
Dari dalam rumah, sang ayah langsung lari menuju kamar mandi. Abdullah membopong anaknya yang keterbelakangan mental itu ke dalam rumah. Ia juga menanyakan alasan istrinya memukul Nuriah, yang dijawab, “keras kepala!”
Jam 12 siang, Abdullah berangkat ke masjid untuk shalat Jumat berjamaah. Begitu kembali, ia mendapati kondisi anaknya sudah lemas. Namun ia belum mengambil tindakan apa-apa.
Baru esok siang, Abdullah yang pulang ke rumahnya membawakan sirup stroberi kegemaran Nuriah, menanyakan insiden kemarin.
Disuguhi sirup itu, anaknya meneguk pelan-pelan, sembari menceritakan ia sakit akibat dipukul ibu tirinya. Nuriah merasa sakit di punggung, tangan, rusuk kiri, dan nyeri di dada.
Jam 3.30, Abdullah meminta Sekdes Beurandang Dayah datang ke rumahnya. Ia pun menceritakan anaknya telah dipukuli ibu tirinya.
“Mengapa baru kabarkan hari ini?” tanya Sekdes.
“Hom, kakeuh meunan,” sahut Abdullah, pasrah dengan penyebab anaknya dipukuli.
Melihat korban yang merintih kesakitan, Sekdes membawa Nuriah ke rumah Mahdi (27), adik kandung korban, di desa yang sama namun terpaut sekitar 1,2 km. Sementara Abdullah pergi mencari tukang urut.
Selang 10 menit berada di rumah adiknya, Nuriah menghembuskan nafas terakhir, tepat jam 4 sore. Jenazah kemudian dibawa ke Puskesmas Cot Girek untuk divisum.
Sementara Sekdes bersama beberapa pemuda desa bergegas ke rumah ayah kandung almarhumah untuk menjemput Tizalikha. Perempuan itu lantas diamankan di rumah Sekdes untuk menghindari amukan warga.
“Saya juga minta empat pemuda desa untuk menjaga ibu tiri korban agar jangan ada keluarga korban yang datang mendekat, mengingat situasi sedang panas. Kemudian saya hubungi Polsek Cot Girek,” cerita Sekdes yang juga bernama Abdullah, kepada Pikiran Merdeka.
Menurutnya, pelaku merupakan istri ketiga ayah korban. Ibu kandung korban istri pertama telah meninggal dunia, sedangkan istri kedua sudah cerai. “Dalam keseharian pelaku bersikap baik, bahkan ia juga kuat agamanya. Korban anak kedua dari lima bersaudara,” tuturnya.
Sore Sabtu itu juga, petugas Polsek Cot Girek langsung mengamankan Tizalikha dari rumah Sekdes Beurandang Dayah.
Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, melalui Kapolsek Cot Girek Ipda Amiruddin, menerangkan, istri ketiga Abdulllah itu kemudian ditahan di Polsek setempat untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Tizalikha kepada polisi mengakui ia terpaksa memukul anak tirinya karena tak mau mandi meskipun sudah berkali-kali disuruh. Namun ia tak menyangka Nuriah meninggal keesokan hari. Syok. “Lon sangat menyesal,” ucapnya.
Hingga sepekan kemudian, penyidik juga memintai keterangan sejumlah saksi terkait kasus pemukulan Nuriah. Dan Tizalikha sudah berstatus tahanan Polres Aceh Utara dan dititipkan di Rutan Lhoksukon. “Namun kita masih menunggu hasil visum,” ujar Ipda Amiruddin kepada Pikiran Merdeka, awal April lalu.
Pernah Dipasung
Mahdi (27) adik almarhumah sangat terpukul oleh kepergian kakaknya secara tak wajar. Ia tak terima perlakuan ibu tirinya. Ia meminta pihak kepolisian memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku.
“Saya tidak menyangka ibu tiri memukul kakak saya sampai meninggal. Cuma Kak Nuriah yang tinggal bersama ayah, kami pisah,” ucapnya sesaat hendak membawa pulang jasad kakaknya dari Puskesmas ke rumah duka, jam 8 malam.
Dari rumahnya, Mahdi menambahkan, kakaknya baru sekitar 7 bulan tinggal bersama ayah kandung dan ibu tirinya. Sebelum itu, kakaknya tinggal bersamanya dan saudara yang lain.
“Selama ini jika ditanya apa pernah dipukul ibu tiri, Nuriah selalu menjawab, ‘hana ipoh/tidak dipukul’. Jika ditanya lagi dijawab, ‘na sigege, bacut dipoh/ada sesekali, cuma sedikit,” ceritanya, Kamis, 7 April 2016.
Menurutnya, Nuriah pernah dipasung pada bulan Ramadhan 2015 hingga sampai 1,5 bulan karena sering keluar rumah tanpa memberi tahu keluarganya. “Kami takut ia diganggu oleh orang jahat melihat kondisinya yang tidak sehat,” ujar Mahdi.
Abdullah dari rumahnya juga mengisahkan, beberapa bulan lalu anaknya yang lain datang ke rumahnya membawa Nuriah dalam kondisi tak sehat dengan kaki terluka bekas pasungan. Kala itu anaknya menyerahkan Nuriah untuk dirawatnya.
“Kala itu istri saya, Tizalikha, bilang, siap menerima anak saya dengan kondisi sedemikian rupa. Dengan catatan setelah sembuh jangan dibawa pulang lagi ke rumah lama. Jika tidak, ia akan merasa tenaganya tidak dihargai.”
Usai tiga bulan tinggal bersama mereka, Nuriah kembali sehat. Sudah bisa berlari, mencuci baju dan mandi sendiri meskipun ia kidal.
Abdullah selama ini bekerjasama dengan istri ketiganya mengurus Nuriah. Namun ia tak sempat melihat saat pemukulan itu. Hanya ditemukannya di sumur sepotong kayu kecil yang patah, sehingga ia tak berprasangka anaknya patah tulang karena dipukul istrinya.
“Menyesal sekali saya tidak melihat kejadian itu. Kalau saya tahu begitu prosesnya, mana mungkin saya biarkan. Belakangan baru saya tahu. Sayang sekali saya sama Nuriah,” ucapnya meneteskan airmata.
Menurutnya, Nuriah pernah sekolah hingga kelas II SD. Namun pada masa konflik, ibu kandungnya takut dan melarang Nuriah sekolah karena anak perempuan rawan menjadi korban kejahatan.
Abdullah juga tak menaruh dendam pada Tizalikha. “Terkait masalah ini, saya mencoba menahan diri dan mengembalikan semua kepada Allah. Istri saya sangat patuh dan taat kepada Allah, shalat tidak pernah tinggal, mengaji Yasin setiap malam, wirid aktif. Bahkan jika bisa dikatakan istri saya lebih taat dari saya.”
Ia belum genap dua tahun menjalin rumah tangga bersama istri ketiganya itu. Hampir setiap malam sebelum tidur, ia menasihati istrinya soal dunia dan akhirat. Sering juga bertukar pikiran.
Namun tiga hari sebelum kejadian, sebut Abdullah, istrinya bilang sudah bosan mendengar nasihatnya, hingga petaka itu terjadi. Terakhir, Sabtu siang, ia melihat kondisi anaknya sudah lemah.
Ia menanyakan istrinya berulangkali, tapi tak ada jawaban sama sekali sambil berlalu ke dapur. Ia pun memutuskan melaporkannya kepada Sekdes. “Saat itu tidak ada keinginan untuk menjebloskannya ke penjara. Yang terpikir hanyalah bagaimana kondisi anak saya,” ucap Abdullah.
Kekerasan Anak Meningkat
Berdasarkan pendataan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Aceh Utara, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh Utara meningkat sepanjang 2015, namun belum ada data terbaru untuk 2016.
“Tahun 2015 terdapat 47 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 25 kasus melibatkan anak sebagai korban, sedangkan sisanya 22 kasus dengan korban perempuan,” kata Kapolres Aceh Utara AKBP Achmadi, melalui Kasat Reskrim AKP Mahliadi kepada Pikiran Merdeka beberapa waktu lalu.
Ia merincikan, 25 kasus dengan korban anak di bawah umur meliputi, 19 kasus persetubuhan/pencabulan, tiga penganiayaan, satu pembunuhan, satu perdagangan orang dan satu lainnya kasus melarikan anak di bawah umur. Sementara 22 kasus dengan korban perempuan meliputi, 14 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tujuh penganiayaan dan satu kasus perzinaan.
“Kasus pembunuhan dilakukan Suaibah, 40 tahun, janda asal Gampong Ulee Blang, Kecamatan Pirak Timu. Ia membunuh bayi yang baru dilahirkannya pada Kamis, 5 Februari 2015 dan ditangkap pada 10 Februari,” bebernya.
AKP Mahliadi membandingkan, pada 2014 hanya terdapat 40 kasus, korban anak 20 kasus dan korban perempuan 20 kasus. Korban anak masing-masing, 14 kasus persetubuhan/pencabulan dan enam penganiayaan. Sementara korban perempuan 11 kasus KDRT dan sembilan kasus penganiayaan.
“Untuk korban anak rata-rata berusia di bawah 18 tahun. Sedangkan para pelaku persetubuhan/pencabulan kebanyakan dari kalangan teman atau kekasih korban,” ujarnya.
AKP Mahliadi mengimbau masyarakat, jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga, agar segera laporkan ke Posko Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak yang telah dibentuk Polda Aceh beberapa waktu lalu. Selain itu, di desa-desa juga terdapat petugas lapangan dari Dinas Sosial yang mendata kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Segera lapor jika terjadi kekerasan dalam bentuk apapun. Tidak perlu takut melapor, karena jika ditutupi akan menimbulkan masalah baru,”sebutnya.[]
Diterbitkan di Rubrik NANGGROE Tabloid Pikiran Merdeka edisi 119 (11 – 17 April 2016)
Belum ada komentar