Sama Merek Beda Rasa, Bahaya

Nasgor Skandar di Simpang Empat Jalan Pocut Baren FOTO Makmur Dimila
Warung Nasi Goreng/Gurih Skandar di Simpang Empat Jalan Pocut Baren. FOTO Makmur Dimila

Kesadaran pengusaha di Aceh untuk mematenkan merek dagang masih sangat rendah. Padahal dampaknya sangat besar bagi kelangsungan bisnis.

Oleh Makmur Dimila

Berhenti di lampu rambu-rambu lalu-lintas Simpang Empat Jalan Pocut Baren, Peunayong, Banda Aceh, terlihat kejanggalan pada satu nama rumah makan di sudut barat, “Skandar”.

Jika merek dagang itu merujuk nama orang semisal Iskandar, apakah huruf “i” sudah copot atau sengaja dibuat demikian? “Tidak untuk kedua-duanya, ada cerita lain di balik nama itu,” tutur Rudi, pemilik Warung Nasi Goreng/Gurih Skandar kepada Pikiran Merdeka, Kamis, 17 Maret 2016.

Tahun 1982, muncul Gerobak Nasi Goreng/Gurih Iskandar di Rex Peunayong, kawasan pusat kuliner populer di Banda Aceh pada masa itu, sekitar 500 meter dari warung Skandar kini.

Gerobak Nasi Iskandar itu dijalankan oleh pasangan suami istri Zainal Abidin dan Rohani—kedua-duanya almarhum—yang memberikan merek dagang berdasarkan nama anak bungsu mereka, Iskandar. Nasi racikan keduanya cukup terkenal hingga tsunami menggulung Kutaraja pada 2004 dan Rohani salah satu korban.

Kakak kandung Iskandar, Nurhayati (44), mengembalikan usaha Nasi Goreng/Gurih Iskandar milik orangtuanya itu pada 2005, dengan menyewa ruko satu pintu di Jalan Panglima Polem, Peunayong, dekat Bundaran Simpang Lima.

Nurhayati bersama suaminya, Ridwan (46), memulai kembali dari nol. Sementara keponakannya, Rudi, yang juga sempat membantu orangtuanya saat jualan di Rex Peunayong juga punya niat buka usaha itu namun tak punya modal.

Bisnis yang dikelola Nurhayati dan suaminya di Jalan Panglima Polem itu cukup maju. Terlebih pascatsunami, Banda Aceh bersolek menjadi lebih tertata dan semakin ramai.

Mereka pun mendaftarkan merek degang Nasi Goreng/Gurih Iskandar ke Kemenkumham RI. “Kami sudah mendapatkan hak paten itu sekitar tujuh tahun yang lalu,” tutur Nurhayati kepada Pikiran Merdeka, Rabu, 16 Maret 2016.

Rudi tak mau ketinggalan oleh geliat perputaran uang di ibu kota provinsi. Pada 2007, bermodal pengalaman sebelumnya ia berniat membuka sendiri usaha serupa, yaitu warung nasi goreng/gurih.

Awalnya dia ingin memberikan nama pribadinya untuk merek dagang, Nasi Goreng/Gurih Rudi. Namun ia juga merasa berhak menggunakan branding Iskandar yang dirintis neneknya.

“Nama (merek) juga sangat mempengaruhi pasar,” tuturnya.

Namun saat mendiskusikan merek dagang usaha, Rudi tak diizinkan pamannya, Iskandar, menggunakan nama yang sama. Begitupun Nurhayati yang usaha kulinernya sudah mantap di Jalan Panglima Polem. Rudi terus memohon. Sempat alot.

“Mana bisa pakai nama yang sama. Beda dapur kan beda rasa. Kami tahu seharusnya bisa menggugat dia, tapi kami saudara. Diamkan saja-lah,” ujar Nurhayati yang kelahiran Meureudu, Pidie Jaya itu.

Kemiripan nama usaha menurutnya sering menimbulkan kesalah-pahaman pelanggan. Pelanggan yang ingin komplain ke Skandar menyasar Iskandar, begitupun sebaliknya.

Rudi akhirnya mengalah dan menggulirkan usaha sendiri pada 2008 dengan nama Nasi Goreng/Gurih Skandar.

“Sebenarnya nasi Skandar yang saya kelola dengan Iskandar di Jalan Panglima Polem itu memakai resep yang sama. Tapi beda koki kan beda rasa. Saya pun damai saja, karena kita punya hubungan keluarga,” kilah Rudi.

Dia juga mengaku sempat disarankan seorang advokat untuk mendaftarkan merek dagang Skandar. Tapi dia tak terlalu ambil pusing. “Rejeki sudah Allah yang atur,” tuturnya.

Melanggar Hukum HKI

Pengelola Iskandar Jalan Panglima Polem
Nurhayati dan Ridwan pengelola Iskandar di Jalan Panglima Polem Peunayong. FOTO Makmur Dimila

Sekilas persoalan nama merek dagang antara kedua manajemen berbeda itu sudah kelar ketika Rudi memilih nama Skandar. Tapi secara hukum, itu masih skandal.

Konsultan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Banda Aceh, Teuku Eddy Faisal Rusydi (34), menerangkan, di antara dua merek dagang nasi goreng/gurih itu, hanya Iskandar dekat Bundaran Simpang Lima yang sudah mengantongi sertifikat merek dagang dari Kemenkumham.

“Dengan dibuangnya huruf ‘i’ oleh pemilik Skandar, bukan berarti perkara sudah selesai secara hukum. Kenapa? Karena merek tidak boleh sama baik pada fonetiknya maupun keseluruhannya,” tutur konsultan HKI satu-satunya di Aceh yang ber-SK Menkumham RI itu.

TEF Rusydi menjelaskan, perlindungan bukan hanya pada penulisan merek (fonetik), tapi juga mencakup fonologi (bunyi pengucapan) terhadap merek tersebut.

Misalnya, Skandar saat diucapkan punya kemiripan dengan Iskandar. “Memang sebegitu detail perlindungan hukum dari negara,” ujarnya.

Berguru Lalu Mandiri

Warung Mie Aceh Simpang Lima
Warung Mie Aceh Simpang Lima di Peuniti, Banda Aceh. FOTO Makmur Dimila

Di Banda Aceh, sebutlah tiga nama brand mi aceh terkenal. Mie Simpang Lima di Peuniti, Mie Razali di Peunayong, dan Mie Midi di Peuniti. Kelahiran dua nama terakhir ini tak lepas dari munculnya mie aceh pertama di Banda Aceh, yaitu Mie Aceh Simpang Lima pada 1961.

Saifullah (48), Manager Mie Aceh Simpang Lima, Jumat 18 Maret 2016, menerangkan, alm Haji Umar yang merupakan ayahnya, pertama kali menjajakan kuliner top di Aceh itu dengan gerobak di Jalan Teungku Daud Beureueh, sekitar Bundaran Simpang Lima.

Alm Haji Umar beberapa tahun kemudian, usai membuat kedai kayu, mampu membuka tiga cabang: satu di Simpang Lima yang bersebelahan dengan kedai pertama, di Peunayong, dan di Peuniti pada 1974.

Razali saat itu bekerja di warung Mie Aceh Simpang Lima. Setelah beberapa tahun, ia pamit dan buka usaha sendiri, hingga lahirlah Mie Razali pada 1967 yang kini cukup populer di Jalan Panglima Polem, Peunayong.

Seiring majunya usaha, Haji Umar kemudian memfokuskan pada gerai yang di Jalan Chik Di Tiro, Peuniti. Saifullah melanjutkan usaha mie aceh warisan orangtunya itu sejak 1992, setelah ayahnya meninggal.

Sadar pentingnya melindungi merek dagang, Saifullah mendaftarkan Mie Aceh Simpang Lima melalui Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh di Banda Aceh, beberapa tahun setelah tsunami.

Tarmizi, yang juga bekerja di Mie Aceh Simpang Lima, beberapa tahun pascatsunami buka usaha sendiri di Peuniti, dengan nama Mie Midi. Kini mereka bersaing secara sehat. Beda merek, beda rasa. Dan, aman-aman saja.

“Antara ketiga pemilik merek mi aceh itu, punya hubungan famili. Yang semua ide dagangnya berasal dari Mie Aceh Simpang Lima. Namun mereka tidak memakai merek dagang yang sama,” cetus TEF Rusydi.

Jangan Sepelekan Sertifikat

Kantor HAKI Banda Aceh
Fauzan saat menerima sertifikat merek dagang Biecoffee di Kantor Hukum TEF Rusydi. FOTO: Makmur Dimila

DI Jalan Hasan Dek No. 280, Jambo Tape, Banda Aceh, Fauzan (33) menerima selembar sertifikat seraya menjabat tangan Teuku Eddy Faisal Rusydi, di kantor advokat lulusan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM Yogyakarta itu.

Fauzan mengantongi sertifikat merek dagang Biecoffee, siang 16 Maret 2016 itu, setelah mengajukannya kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI Ditjen Kekayaan Intelektual pada 13 Juli 2012.

Biecoffee mulai dipasarkannya secara online pada Februari 2012. Namun ia belum mau mengekspansinya secara luas sebelum mendapatkan sertifikat resmi untuk merek produk kopi arabika-nya.

“Saya sengaja menyelesaikan dulu soal branding merek. Jangan nanti ketika produknya beredar, tiba-tiba bermasalah dengan merek. Sekarang saya sudah siap memasarkannya secara luas,” ujarnya usai menerima sertifikat.

Fauzan pada akhir 2015 sempat dikejutkan oleh fakta bahwa ia mendapati merek kopi arabika di salah satu daerah di Aceh, “Bie Kupie” yang secara ucapan mirip dengan “Biecoffee”-nya.

Kini, ia sudah mengunci hak atas kekayaan intelektual (HAKI) untuk merek dagang kopinya itu sehingga dilindungi oleh negara. Ia juga punya hak menggugat ganti rugi kepada “Bie Kupie” jika brand terkesan tiruan itu belum mendapatkan sertifikat dari Kemenkumham. Sama seperti kasus Iskandar dengan Skandar.

Teuku Eddy Faisal Rusydi mengatakan, persoalan HAKI sangat diperhatikan oleh masyarakat di negara maju, karena aset intelektual bagi mereka penting sekali untuk dilindungi.

Berbeda dengan masyarakat di negara berkembang. Kesadaran masyarakat Aceh dan umumnya Indonesia masih sangat rendah untuk mendapatkan sertifikat HAKI. Selain karena dianggap sepele, dia sendiri mengakui kurang adanya sosialisasi.

Seharusnya menurut TEF Rusydi, setiap pengusaha lebih dulu mendapatkan sertifikat HAKI dari Kemenkumham RI sebelum menjalankan bisnisnya, meskipun hal itu akan menghambat usaha karena menunggu diproteksi suatu merek memakan waktu lama.

Namun ia menegaskan, merek dagang perlu secepatnya diproteksi. Sebab suatu waktu sebuah merek bisa lebih bernilai dari perusahaannya sendiri. Misal merek dagang Aqua, berapapun ditawarkan harga, ia yakin takkan dijual oleh perusahaannya.

Dia menjelaskan, sekali mengurus HAKI bisa memakan waktu antara 2 – 5 tahun. Tak menutup kemungkinan, bisa memakan waktu lebih lama jika suatu merek dagang yang diajukan ke Kemenkumham RI itu tersandung masalah.

Sekali urus sertifikat merek dagang, butuh biaya sekitar Rp6 juta – Rp 7 juta. Dengan biaya sebesar itu, katanya, seorang klien boleh mengurus 1 – 10 merek dagang dari berbagai kelas barang.

“Kalau daftar satu merek, harganya sebesar itu. Daftar tujuh merek pun harganya sebesar itu,” sebut advokat yang menempuh sarjana di Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry itu.

Sejak meresmikan kantor hukum yang melayani jasa advokat, konsultan hak kekayaan intelektual, dan mediator, TEF Rusydi sudah menangani 100-an klien, baik lokal maupun internasional.

Merek Terkenal dan Tidak Terkenal

Ia menyebutkan, dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, ada yang disebut dengan merek terkenal. Ketika satu merek sudah terdaftar minimal di tiga negara, ia sudah menjadi merek terkenal.

Bila sudah menjadi merek terkenal, pihak lain tak boleh lagi menggunakan merek tersebut walaupun bukan pada kelas barang sejenis. Setiap barang sebutnya, secara global punya klasifikasi (pengelompokan), mulai dari kelas 1 – 45.

Ia mencontohkan Biecoffee terdaftar pada barang kelas 30—yang di dalamnya ada gula, teh, selain kopi. Seandainya ada orang lain yang menggunakan merek itu untuk produksi kopi, negara bisa memproteksi.

“Fauzan punya hak untuk melarang orang lain (jika) menggunakan merek dagangnya, apakah dipidanakan, maupun menuntut ganti rugi,” terangnya, “tapi sejauh dalam kelas barang 30.”

Ketika kelak Biecoffee didaftarkan merek dagangnya minimal di tiga negara—seperti yang sudah dilakukan pemilik Ayam Lepaas—ia menjadi merek terkenal, sehingga orang lain tidak bisa lagi menggunakan merek Biecoffee meskipun bukan pada kelas 30. Tapi selagi masih terdaftar di satu negara saja, orang lain masih boleh pakai merek Biecoffee untuk produk selain kopi (kelas 30).

Dilarang Gunakan Public Domain

Cara mendaftar hak paten
Alur proses pendaftaran merek dagang dan HAKI lainnya. FOTO: Makmur Dimila

TEF Rusydi juga menyebutkan, merek dagang tidak boleh diambil berdasarkan public domain, yaitu nama suatu tempat, benda, zat, sifat, atau keterangan yang masuk dalam ranah publik.

“Misal Fauzan mendaftarkan kata ‘kupi’ atau ‘coffee’ sebagai merek dagangnya, itu melanggar hukum. Kenapa ia kemudian mendapatkan sertifikat, karena ada kata sayap yaitu ‘bie’,” terangnya.

Jika ada satu pengusaha yang mendapatkan merek dagang dengan menggunakan public domain, kata TEF Rusydi, bisa jadi ada kekeliruan di pihak kementerian.

Terkait penggunaan public domain, komunitas yang merasa dimanfaatkan nama komunitasnya itu, berhak menggugat pengusaha bersangkutan. Ia mencontohkan satu merek dagang di Banda Aceh yang menjadikan nama satu tempat sebagai merek dagangnya, pada 2014, digugat oleh satu LBH. Untungnya, si pemilik merek dagang berhasil mengalahkan gugatan LBH itu di pengadilan setelah menyewa kuasa hukum.

“Ketika suatu merek sudah bermasalah dengan ranah rukum, itu akan membutuhkan biaya yang sangat besar,” kata konsultan yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Konsentrasi Hukum Hak Kekayaan Intelektual Universitas Krisna Dwipayana Jakarta.

Ia mengutarakan, dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001, tentang Merek, disebutkan, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu, dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

“Seandainya Fauzan tidak menggunakan merek Biecoffee, ia bisa memberikan izin penggunaan lisensi kepada orang lain,” sebutnya.

Dengan catatan, antara kedua pihak harus bikin perjanjian untuk selanjutnya didaftarkan kembali ke Kemenkumham, sehingga mengikat kedua belah pihak dan pihak ketiga.

“Satu lisensi merek yang didaftarkan tanpa pihak ketiga, maka hanya mengikat dua pihak saja. Ketika ada pihak lain (pihak ketiga) yang melanggar, tak bisa diprotes.”

2 Hal Penting Berdagang

Menurutnya, ada dua hal penting dalam dagang. Pertama, merek. Enak atau tidak, bagus atau tidak, suatu produk sangat dipengaruhi mereknya. Kedua, rahasia dagang, semisal merahasiakan resep masakan pada suatu restoran.

“UU No 30 Tahun 2000 mengatur tentang rahasia dagang. Rahasia dalam satu perusahaan yang bernilai ekonomi kemudian dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.”

Dalam setahun terakhir, TEF Rusydi cukup banyak menangani klien yang berperkara dengan merek dagang. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga luar negeri. Semestinya itu sudah cukup menjadi pelajaran bagi masyarakat.

Kantor Hukum Advokat, Konsultan HKI, Mediator, Teuku Eddy Faisal Rusydi, SHI, MSc & Co, menangani klien yang mengurus hak cipta, paten, merek, indikasi geografis, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman.[]

Diterbitkan di Rubrik KHUSUS Tabloid Pikiran Merdeka edisi 116 (21 – 27 Maret 2016)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Kantor PLN Aceh (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Kantor PLN Aceh (Foto PM/Oviyandi Emnur)

GM Berganti, PLN Aceh Berulah