M Isa, Merawat Lansia Sampai Pantinya Tutup Usia

Tgk M Isa Pimpinan Panti Jompo
Tgk M Isa Pimpinan Panti Jompo Al-Muarif. FOTO: Cut Islamanda

Dari uang hasil menang lomba, pemuda ini membuka panti jompo. Namun tak hanya manusia, usia suatu lembaga pun tak bisa ditebak.

Oleh Cut Islamanda

Teungku M Isa (38) warga Desa Teungoh Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara berusaha mendedikasikan diri untuk para lansia melalui Yayasan Panti Jompo Al-Muarif.

Terketuk pintu hatinya untuk mendirikan panti jompo usai bertemu dengan seorang ibu peminta-minta di salah satu SPBU di Aceh Utara. M Isa yang berusia 25 tahun saat itu baru saja pulang dari mondok di pesantren tempat seharii-hari ia mendalami ilmu agama.

“Karena iba saya berikan uang Rp10 ribu. Namun ibu itu menolak dan malah meminta saya memberikan seuntai doa bagi ibunya yang telah meninggal. Baginya doa lebih baik daripada uang Rp10 ribu,” kisah M Isa kepada Pikiran Merdeka, 1 Maret 2016.

Dia lantas mengantarkan ibu itu pulang ke gubuk reotnya. Di tempat tinggalnya ibu itu mengungkapkan alasannya menjadi peminta-minta: karena ditelantarkan oleh anak-anaknya.

M Isa kala itu tinggal di salah satu rumah pemilik panti di Syamtalira Bayu Aceh Utara, yang kemudian justru menyarankannya untuk membuka sebuah yayasan. Teringat ibu pengemis di SPBU, ia pun bertekad membuka yayasan panti jompo.

Tepat pada 1 April 2005, ia meresmikan Yayasan Panti Jompo Al-Muarif di tanah wakaf orangtuanya. Dengan luas komplek 25 x 117 meter. Berisi musala ukuran 8 x 10 meter, dapur umum 5 x 7 meter, dan 10 bilik kamar 4 x 6 meter.

Dia membuka panti dengan dana pribadi sebesar Rp70 juta dan dibantu orang tua Rp50 juta. Sebagai pemuda lajang saat itu ia punya cukup banyak uang hasil kemenangan Juara III SAR LAUT se-Indonesia perwakilan PMI cabang Lhokseumawe.

“Saya ingin uang itu bisa berguna bagi banyak orang, bukan untuk foya-foya. Untuk apa punya banyak uang, jika di luar sana banyak orang susah,” tuturnya.

Masa-masa Sulit

Panti Jompo Al-Muarif
Bekas Panti Jompo Al-Muarif di Desa Teungoh Pirak, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara. FOTO: Cut Islamanda

Setidaknya sudah ada 25 lansia (orang lanjut usia) ketika Panti Jompo Al-Muarif berjalan 1,5 tahun.

Saat itu pula, datang Muspika Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, dan menganjurkan agar M Isa membuat surat yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten, provinsi hingga pusat. Sebagai upaya mencari sokongan dana tambahan untuk keringanan pengurusan panti jompo yang dipimpinnya.

Setelah pengurusan surat-menyurat tersebut dan melewati proses yang panjang, akhirnya ia memperoleh dana bantuan Rp8.000/jiwa (lansia) untuk sehari makan dari kabupaten era pimpinan Bupati Aceh Utara Tarmizi Karim.

“Saat itu sangat memuaskan dan cukup untuk biaya makan tiga kali sehari masing-masing lansia,” tuturnya.

Kesulitan mulai melanda Panti Jompo Al-Muarif semenjak Aceh Utara dipimpin Bupati Ilyas Pase (2007 – 2012). Dana bantuan dipangkas hingga menyisakan Rp1.750/jiwa.

Di masa Bupati Cek Mad (2012 – sekarang) sempat naik menjadi Rp4.000/jiwa. Tapi pada kenyataannya biaya makan per hari setiap lansia mencapai Rp40 ribu.

“Untuk mencukupi itu saya gunakan dana pribadi, swadaya dan tentunya sedikit bantuan dari pemerintah,” beber anak ketiga dari delapan bersaudara ini.

Selama masa berjalannya, Panti Jompo Al-Muarif menampung 30-an lansia yang berasal dari Kecamatan Syamtalira Aroen, Baktiya, Tanah Luas dan seputaran Kecamatan Matangkuli.

“Ada yang datang sendiri, namun ada pula yang diantar keluarganya. Rata-rata lansia yang datang masih memiliki keluarga. Hanya saja mereka mengaku mencari ketenangan untuk beribadah di masa tua,” ujarnya.

Jika berada di rumah bersama anaknya, ungkap M Isa, para lansia mengaku disibukkan dengan menjaga dan mengurus cucu. Sedangkan di panti jompo, mereka bisa salat sunah kapan saja mereka mau, selain salat fardu.

“Mereka juga memiliki waktu untuk mengaji dan istirahat cukup, baik siang maupun malam,” ucapnya.

Di panti, selain diberi pengetahuan agama dan pengajian, para lansia juga diajarkan untuk menjaga dan merawat kesehatan dengan mandi teratur, serta dibiasakan hidup rukun termasuk makan bersama.

Bahkan pada masa awal berdirinya panti, para lansia sempat diberikan keterampilan menganyam tikar pandan/tikar duduk.  Namun aktivitas itu terhenti karena keterbatasan dana.

Kekanak-kanakan Orang Jompo

Seiring berjalannya waktu, satu per satu persoalan mulai muncul. Termasuk saat pemerintah menjalankan program pemberian santunan untuk lansia yang disalurkan melalui desa tempat tinggal masing-masing.

Para lansia mulai memilih pulang ke rumahnya dengan alasan untuk mendapatkan dana bantuan tersebut.

Tak hanya itu, persoalan sederhana sekalipun sempat memicu kondisi buruk di panti, yaitu soal kebutuhan makan sehari-hari. Para uzur itu memiliki selera makan yang berbeda. Sampai-sampai, pihak yayasan harus menyediakan tiga hingga lima jenis ikan dalam sehari.

“Mengurus lansia tidaklah semudah mengurus anak-anak. Mereka sering tidak mau jika makanan dijatah. Katanya ‘pilih kasih’ karena ada yang dapat ikan bagian kepala, ekor dan badan.”

Persoalan sepele itu agak reda setelah M Isa menikah pada 2008. Istrinya menerapkan peraturan baru, para lansia dipersilakan ambil sendiri nasi dan lauk-pauk di dapur umum setelah dimasaknya.

M Isa butuh kesabaran besar untuk menyikapi perbedaan karakter dari para penghuni Al-Muarif. Menurutnya orang jompo harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang.

Berbicara dengan para lansia pun harus santun dan hati-hati, sebutnya, jika tidak mereka akan tersinggung dan merasa weueh ate (terenyuh). Harus dikenali terlebih dahulu karakter masing – masing lansia sebelum membina mereka.

“Ditambah lagi lansia bersifat kembali pada masa kekanak-kanakan. Mudah merajuk dan gampang sedih,” ucap ayah dua anak ini.

Panti Ditutup

Musalla Panti Jompo Al-Muarif
Musala di Panti Jompo Al-Muarif yang biasanya dijadikan tempat salat berjamaah dan mengaji. FOTO: Cut Islamanda

Ketika kondisi semakin sulit, M Isa menon-aktifkan Panti Jompo Al-Muarif pada pengujung tahun 2015. Ada dua alasan yang membuat M Isa menempuh kebijakan itu, yakni repotnya pengurusan perpanjangan surat izin dan urusan agama.

“Dalam pengurusan perpanjangan surat izin pada 2015 lalu saya sudah menghabiskan dana Rp 4,5 juta, tapi tak kunjung selesai. Kemudian saya putuskan untuk menutup panti karena tidak ingin terjerumus dalam dosa berkepanjangan,” tuturnya.

Ia menerangkan, bukan rahasia lagi bahwa lebih dari 50 persen pemilik panti atau yayasan melakukan kebohongan terkait jumlah anggota/santri yang dibina.

Hal itu dilakukan, sebutnya, atas dalih kebaikan untuk mencukupi kebutuhan santri. Padahal kebutuhan rumah tangga pemilik panti pun termasuk di dalam dana bantuan tersebut.

“Itu adalah sebuah kebohongan yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.”

Ia mengaku sudah kehabisan modal saat mengelola panti jompo. Semua uang, mobil dan tanah miliknya sudah dijual untuk menutupi kekurangan pembiayaan panti.

Paska ditutupnya panti, M Isa menyibukkan diri dengan aktivitas berkebun. Ia menanam pete, jengkol dan rambutan di kawasan Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Hasil kebun itu diharapkannya dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Ia sudah bertekad mengalih-fungsikan bekas panti jompo menjadi balai pengajian atau pasantren, sehingga santri bisa mondok. Ia tak mau bilik kamar dari kayu dan bangunan permanen di komplek itu terbengkalai.

“Tapi itu butuh dana, termasuk dalam hal pengurusan izin baru. Maka saat ini saya berusaha mengumpulkan modalnya dulu. Jika Allah berkehendak, insyaallah akan terlaksana.”

Mudah Merawat Lansia

Meski Panti Jompo Al-Muarif sudah tutup usia, M Isa masih mengenang pengalamannya menangani orang-orang uzur. Ia masih ingat betul dua lansia yang pertama kali tinggal di pantinya.

Nek Minah yang kini berusia 85 tahun, warga setempat dan Nek Fatimah yang kini berusia 70 tahun, warga Desa Beringen, Kecamatan Matangkuli. Misal Nek Fatimah yang masih tak mau beranjak pulang meski panti ditutup.

“Sejujurnya lebih mudah merawat lansia dari pada merawat orang tua sendiri. Karena salah kata atau salah sikap terhadap orangtua sendiri, kita akan durhaka,” tukasnya.

Namun M Isa beruntung. Kedua orangtunya termasuk orang yang berada. Mereka punya rumah, mobil, dan kebun luas. Bahkan tanah lokasi Panti Jompo Al-Muarif berdiri pun merupakan wakaf dari orangtuanya.

“Ayah saya baru meninggal setahun lalu, sedangkan ibu saya masih ada dan tinggal di Desa Alue Drien, Kecamatan Pirak Timu,” ujarnya.

Dari Kecamatan Lhoksukon, panti Al-Muarif dapat dijangkau dengan menempuh perjalanan 10 km. Sedangkan dari pusat Kecamatan Matangkuli berjarak 4 km, berada di kawasan pedalaman dengan lintasan jalan berbatu penuh debu.

Kini debu juga mulai memenuhi komplek bekas panti jompo itu. Terlihat di balai pengajian yang sebelumnya dijadikan musala untuk salat berjamaah bersama para lansia dan bilik-bilik yang tertutup rapat.[]

Diterbitkan di Rubrik INSPIRASI Tabloid Pikiran Merdeka edisi 114 (7 – 13 Maret 2016)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait