PM, Banda Aceh – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mencatat, potensi kerugian negara akibat korupsi di Aceh sepanjang tahun 2015 mencapai Rp885,8 miliar. Hal ini berdasarkan hasil monitoring GeRAK, di mana terdapat 27 kasus korupsi terjadi di Aceh dalam kurun waktu tersebut.
Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2014 yang hanya Rp 500 miliar. Kata Hayatuddin, beberapa kasus tersebut saat ini masih dalam penanganan penegak pukum baik di Kejaksaan, Kepolisian, KPK serta pengadilan.
“Model korupsi tahun 2015 di Aceh ini sangat spesifik, artinya terencana dan terstruktur,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Senin (4/12/15).
Hasil monitoring serta catatan GeRAK menunjukan bahwa dana hibah dan bantuan sosial masih menjadi penyumbang utama kasus dugaan yang berpotensi korupsi.
“Modus operandi kasus yang dilakukan mulai sejak perencanaan hingga perubahan spek dan lainnya,” jelasnya.
“Salah satu contoh dugaan korupsi traktor sedang 4 WD pada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh dengan pagu anggaran Rp39 miliar. Berdasarkan dokumen yang dimiliki, bahwa kasus ini terjadi beberapa kali perubahan spek dan lainnya. Kasus ini sudah kami supervisi ke KPK, Kejagung dan Kapolri,” sambungnya lagi.
Kemudian, Hayatuddin menambahkan, kasus dugaan korupsi Dermaga Lhok Weeng Sabang sebesar Rp. 11,7 miliar. Diduga, proses penyusunan anggaran yang diplotkan untuk dermaga tersebut tidak sesuai dengan kondisi proyek di lapangan.
Sebagaimana pembangunan yang dilakukan dengan panjang lebih kurang 30 meter dan lebar lebih kurang 3 meter serta ke dalam sekitar 3 meter, kemudian material yang digunakan yaitu batu gajah di sekitar proyek, sehingga proyek tersebut telah merusak hutan dan kawasan wisata Sabang.
“Proyek tersebut tidak ubah seperti tanggul penahan ombak. Kasus ini sudah dilaporkan ke KPK,” ungkapnya.
Kata Hayatuddin, pihaknya juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi pada anggaran aspirasi anggota DPRA dalam bentuk bantuan kelompok tani, tambak dan lainnya, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh tahun 2015.
“Bantuan tersebut diciptakan berbagai model kelompok masyarakat di 18 kabupant/kota di Aceh dengan total anggaran yang diplotkan sebesar Rp. 40 miliar. Program tersebut sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan yang sangat mudah dengan cara memecahkan anggaran untuk bisa penunjukan langsung (PL) di akhir masa anggaran. Rata-rata paket PL tersebut dari Rp. 30 – 200 juta. Program kelompok ciptaan aspirasi DPRA tersebut untuk berbagai jenis pembibitan yaitu, pembibitan Ikan bandeng, ikan nila, rehab tambak dan lainnya,” ujarnya.
Berdasarkan Investigasi, Hayatuddin juga menjelaskan, pada tahun 2014 modus bantuan seperti ini jarang menjadi temuan oleh pihak penegak hukum karena sifatnya hibah. “Habis beli bibit mati lalu selesai,” jelasnya.
Kemudian, Hayatuddin juga menambahkan, terdapat temuan di tahun 2013 terkait dana aspirasi DPRA diperuntukkan untuk merehap lapangan bola sebesar Rp 130 juta.
“Tetapi ketika kami mengecek kelapangan hanya Rp. 25 juta yang terealisasi. Sehingga bentuk program aspirasi dewan sangat rawan terhadap dugaan tindak pidana korupsi, karena setiap yang mendapatkan paket leumak tersebut jarang menjadi temuan penegak hukum karena dianggap jumlah potensi korupsi nya sedikit,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Hayatuddin, Gerak Aceh juga mencatat masih lemahnya penegakan hukum terkait penindakan kasus-kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat maupun temuan BPK-RI.
Sehingga para pelaku korupsi di Aceh tidak mendapatkan efek jera yang dapat menjadikan pembelajaran bagi yang lainnya.
“Kelemahan penegakan hukum dalam hal menindaklanjuti dugaan korupsi yang terjadi di Aceh membuat para pelaku korupsi untuk menyusun rencana baru untuk meraup keuangan negara dengan berbagai modus, mulai dari perencanaan hingga proses eksekusi suatu kerjaan atau program kegiatan,” ungkap Hayatuddin.
Sementara itu berdasarkan hasil monitoring media, Hayatuddin juga menyampaikan, dari catatat ada beberapa kasus lama yang sampai saat ini masih belum jelas upaya hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seperti dugaan korupsi pajak Bireuen.
“Kasus ini mulai di tindaklanjuti tahun 2008 oleh Polda Aceh hingga akhir tahun 2015 masih dalam penaganan. Selanjutnya dugaan korupsi pembangunan Mesjid di Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2009 hingga akhir 2015 kasus ini baru ditetapkan tersangka dan dilimpahkan ke Pengadialn Tipikor Banda Aceh oleh Kejari Kuala Simpang. Padahal, dugaan korupsi pembangunan mesjid ini jelas terlihat hanya tiang pondasi saja dengan anggaran lebih kurang Rp. 4 miliar,” paparnya.
Selain itu, Gerak menilai fungsi control dan pengawasan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, serta DPRA/DPRK di Aceh sangat lemah. Di mana anggaran yang diperuntukan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak sesuai dengan apa yang harapkan masyarakat.
Atas persoalan tersebut, GeRAK mendesak Gerak mendesak Polda dan Kejati Aceh untuk menyusun strategi penanganan dan menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi di Provinsi Aceh dan membuka secara transparan ke publik berapa jumlah kasus yang ditangani di setiap jajarannya.
“Gerak juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat menindaklanjuti sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilaporkan oleh GeRAK dan Publik di Aceh ke KPK,” tutup Hayatuddin. [PM004]
Belum ada komentar