Lamuri Sebuah Asal Mula

Lamuri Sebuah Asal Mula
Ilustrasi Benteng Indra Patra.

Riwayat Aceh Besar tak lekang dari Lamuri, kota bandar Kerjaan Indra Purba sebelum kerajaan Aceh Darussalam terbentuk.

Oleh Iskandar Norman

[dropcap style=”inverted”]K[/dropcap]erajaan Lamuri dipimpin oleh raja-raja dari Dinasti Maharaja (Meurah) Syahir Dauliy. Orang luar (pendatang) menyebutkan dengan Lam Oerit atau Lamuri, terletak dekat Kampung Lam Krak, Kecamatan Suka Makmur sekarang (Teuku Iskandar menyebutkan Lamreh, dekat Krueng Raya).

Menurut sejarawan Aceh, M. Junus Djamil (1972), keberadaan Kerajaan Lamuri dijelaskan dalam Hikayat Raja Masah, Hikayat Syiah Hudan (Teungku Lam Peuneu’euen), riwayat asal usul sukee lhee reutoh, riwayat Putroe Neng (Raja Seudue), serta hasil penelitian Ceng Oi dari Cina pada 1919.

Pada 414 H (1024 M) Lamuri diserang oleh Raja Rajendra Cola Dewa dari India. Menghadapi serangan itu, Lamuri membuat pertahanan di Mampreh. Penduduk negeri itu diungsikan ke Gle Weung. Serangan Raja Rajendra itu pun dapat dipatahkan.

Riwayat perang tersebut disusun dalam Hikayat Prang Raja Kula, yang menyebutkan bahwa setelah perang terjadilah perpecahan karena ada sebagian wilayah yang dicaplok, seperti Indra Jaya/Kerajaan Seudu yang diserang oleh armada China pimpinan Liang Khie dengan Laksamana O Nga.

Beberapa generasi Liang Khie telah menguasai Negeri Seudu/Panton Bie (Cantoli), di antaranya yang terkenal adalah Putri Nian Nio Liang Khie (Putroe Neng). Pada masa Putroe Neng berkuasa, ia melakukan penyerangan ke Lamuri yang saat itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti.

Pada masa itulah datang ke Lamuri rombongan Syeh Abdullah Kan’an yang dikenal sebagai Teungku Lampeu’neuen atau Syiah Hudan, yang membawa ajaran Islam ke daerah tersebut. Syeh berangkat bersama rombongan dari Bayeuen (Peureulak) yang merupakan murid dari Dayah Cot Kala.

Atas izin Maharaja Indra Sakti, rombongan mubaligh itu menetap di daerah Mampreh. Suatu ketika Syiah Hudan menawarkan bantuannya kepada Maharaja Indra Sakti untuk menghadapi serangan Putroe Neng. Tawaran itu diterima dan kelompok Syiah Hudan berperang dengan pasukan Liang Khie. Setelah perang itu dimenangkan oleh Syiah Hudan, Putroe Neng berdamai dengan pihak Syiah Hudan. Karena kemenangan itu, Maharaja Indra Sakti dan rakyatnya kemudian memeluk Islam.

Perjalanan selanjutnya, kerajaan ini runtuh dengan bangkitnya Kerjaan Aceh Darussalam, yang berbilang abad kemudian juga runtuh akibat ekspansi Belanda. Setelah Belanda meninggalkan nusantara dan Indonesia lahir, Provinsi Aceh dibentuk. Dan wilayah bekas Kerajaan Lamuri kini menjadi bagiaan dari Kabupaten Aceh Besar.

Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri atas tiga kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seulimum, Kewedanaan Lhoknga, dan Kewedanaan Sabang. Sejak keluarnya UU tersebut Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah otonom dengan ibukota Banda Aceh yang merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.

Usaha untuk memisahkan ibukota Kabupaten Aceh Besar dengan Kotamadya Banda Aceh telah dirintis sejak 1969. Saat itu, Indrapuri, lebih kurang 25 kilometer dari Kota Banda Aceh ditawarkan sebagai ibukota Kabupaten Aceh Besar. Namun, tawaran tersebut tidak dapat terwujud.

Selanjutnya, tahun 1976 usaha pemindahan tersebut dilanjutkan lagi. Kemukiman Jantho ditawarkan sebagai calon ibukota. Baru tahun 1979 usaha tersebut terkabulkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1979. Setelah keluarnya PP tersebut aktivitas perkantoran secara bertahap dipindahkan ke Kota Jantho. Peresmian ibukota baru tersebut dilakukan oleh Supardjo Rustam, Menteri Dalam Negeri, tanggal 3 Mei 1984. []

Wisata Budaya di Aceh Besar

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu daerah berperadaban di Provinsi Aceh. Beragam fragmentaria sejarah terekam pada jejak-jejaknya. Kini jejak itu menjadi togak untuk menelisik kembali masa lalu. Beberapa tonggak itu adalah:

[toggle title=”Museum Cut Nyak Dhien”]

Cut Nyak Dhien merupakan salah seorang pahlawan nasional dari Aceh. Rumahnya di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, kini telah dijadikan meseum.

Rumah ini dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Hanya pondasinya saja yang masih asli. Selebihnya telah direnovasi tanpa merubah bentuk. Bangunan asli telah dibakar oleh pemerintah Kolonial Belanda pada masa perang. Di Meseum Cut Nyak Dhien berbagai benda sejarah disimpan.[/toggle]

[toggle title=”Mesjid Indra Puri”]

Mesjid Indra Puri merupakan salah satu mesjid tertua di Aceh. Terletak sekitar 25 kilometer arah barat Kota Banda Aceh. Bangunan mesjid ini berdiri di atas tanah seluas 33.875 meter persegi, sekitar 150 meter dari tepi Krueng Aceh.[/toggle]

[toggle title=”Benteng Indra Patra”]

Benteng Indra Patra terletak sekitar 19 kilometer arah timur Kota Banda Aceh ke Krueng Raya, Aceh Besar. Benteng ini merupakan salah satu benteng pertahanan Kerajaan Aceh dalam pertahanan perang melawan Belanda.[/toggle]

[toggle title=”Makam Laksamana Malahayati”]

Laksamana Malahayati merupakan admiral perempuan pertama di dunia. Ia memimpin angkatan laut Aceh dalam menghadapi Portugis dan Belanda yang ingin berkuasa terhadap Aceh.

Makamnya terletak di atas bukit di Ujoeng Batee, Aceh Besar, sekitar 32 kilo meter arah timur Kota Banda Aceh ke Krueng Raya.[/toggle]

[toggle title=”Perpustakaan Tanoh Abee”]

Perpustakaan ini terletak di Desa Tanoh Abee, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Berbagai khazanah kuno tersimpan di perpustakaan ini. Perpustakaan ini berada dalam komplek pesantren Tgk Syik Tanoh Abee yang didirikan oleh keluarga Fairus. Pesantren ini mencapai klimaks kejayaannya pada masa pimpinan Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee. Beliau meninggal pada tahun 1894 dan dimakamkan di Tanoh Abee. Pengumpukan naskah (manuskrip) Dayah Tanoh Abee telah dimulai sejak Syekh Abdul Rahim, kakek dari Syekh Abdul Wahab. Naskah yang terakhir ditulis pada masa Syekh Muhammad Sa’id, anak Syekh Abdul Wahab yang meninggal dunia pada tahun 1901 di Banda Aceh, dalam tahanan Belanda.[/toggle]

Geografis Aceh Besar

Kabupaten Aceh Besar terletak antara Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Barat. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie, dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

Secara geografis Kabupaten Aceh Besar memiliki luas wilayah 2.974,12 kilo meter bujur sangkar. Secara administrasif ditopang oleh 13 Kecamatan, yakni : Kecamatan Lhong, Lhoknga/Leupung, Indrapuri, Seulimum, Mesjid Raya, Darussalam, Kuta Baro, Montasik, Ingin Jaya, Suka Makmur, Darul Imarah, Peukan Bada, serta Kecamatan Pulo Aceh.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Pemkab Aceh Timur Fokus Benahi Sektor Kesehatan
Sekda Aceh Timur M. Ikhsan Ahyat,S.STP,M.AP saat membuka Rapat Koordinasi Teknis Dalam Rangka Monitoring dan Evaluasi Kinerja Dinas Kesehatan dan RSUD di Kabupaten Aceh Timur. (Foto: Iskandar Ishak)

Pemkab Aceh Timur Fokus Benahi Sektor Kesehatan