Allah Allah hu ya Allah… kalimah thaibah pangkai keu mate. Laailahailallah… Muhammad Rasulullah… Allah Allah hu ya Allah… kalimah thaibah pangkai keu mate…”
Lantunan syair perpaduan Arab-Aceh itu menggema, memecah suara jangkrik malam. Ketam-ketum pula bunyi rapai ditabuh. Ketip jari, lenguh napas, dan suara syahi yang membawa syair menyatu di malam itu. Sejumlah lelaki yang menabuh rapai tampak menyeka keringat. Namun, pancaran semangat tak lekang di wajah mereka.
“Beginilah kami setiap latihan malam. Kalau bukan kita yang menghidupkan seni tradisi, siapa lagi?” ujar lelaki berbadan sedikit gempal.
Namanya Imam Juaini. Alumnus UIN Ar-Raniry ini merupakan salah satu motor berdirinya sejumlah sanggar seni tradisi. Sebut saja di antaranya, Sanggar Tamadun, Sanggar Seni Seulaweut, dan Komunitas Saleum. Dua sanggar terakhir masih produktif hingga sekarang. Namun, Imam lebih memokuskan diri pada Sanggar Saleum.
“Sanggar Seni Seulaweut saya dirikan di bawah payung kampus UIN (ketika masih IAIN) Ar-Raniry. Jadi, saya serahkan kepada mahasiswa saja mengelolanya. Saya fokus pada Komunitas Saleum saja,” tutur Imam.
Secara kronologis, kata Imam, Komunitas Saleum berdiri pada tanggal 5 Februari 2006. Dua tahun setelah gempa dan tsunami atau setahun pasca-perjanjian damai MoU Helsinki.
“Proses lahirnya Komuntas Saleum adalah inisiatif saya untuk berkiprah dalam dunia kesenian di Aceh. Pada awalnya, saya selaku ketua umum Sanggar Seni Seulaweut UIN berupaya melebarkan sayap dalam dunia berkesenian. Bukan berarti kesenian kampus sempit, tapi saya sebagai pelaku seni yang masih muda merasa perlu melebarkan sayap keluar dari kampus,” ujarnya.
Hal ini tidak lepas dari aturan kampus bahwa yang berhak menjadi pengurus sebuah sanggar kampus atau unit kegiatan mahasiswa dalam bentuk lain haruslah mahasiswa aktif. Imam berpikir, di saat dirinya sudah tidak lagi menjadi mahasiswa, tentu berkesenian bukan berarti harus tamat pula. Karena itulah, Imam mengajak beberapa temannya lalu mendirikan sebuah sanggar yang lepas dari payung kampus. “Komunitas Saleum,” demikian nama sanggar itu diberikan.
Dalam Komunitas Saleum, Imam bermaksud bisa menampung alumni sanggar kampus yang mau melanjutkan profesi dalam dunia kesenian, terutama seni tradisi. Menurut lelaki kelahiran tahun 1979 ini, Komunitas Saleum selalu siap menampung para eks mahasiswa yang mau mengembangkan bakat berkesenian mereka.
“Lembaga ini berperan dalam upaya menjaga, melestarikan, dan megembangkan seni tradisional Aceh. Fokusnya pada dunia musik tari tradisional Aceh dan bernapaskan Islam,” katanya.
Dalam wilayah musik, Komunitas Saleum kemudian membentuk satu group musik etnik Aceh modern yaitu Saleum Group. Grup musik ini telah merilis dua album dalam bentuk compact disc (CD) etnik Aceh. Album perdana diluncurkan tahun 2006. Album kedua pada tahun 2013. “Alhamdulillah mendapat sambutan hangat di masyarakat,” tambah Imam.
Selanjutnya, Imam dan kawan-kawan membentuk rumoh tari dalam mengembangkan dunia tari tradisi. Hal ini dilakukan komunitas mereka sebagai misi dan upaya menggalakkan generasi cinta seni tardisi.
“Kami selalu berkomitmen untuk mengangkat tari-tari tradisi yang mulai hilang (punah) dalam masyarakat,” jelas alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry itu.
Secara keanggotaan, Komunitas Saleum diisi oleh para sarjana, tetapi juga sebagian masih tercatat sebagai mahasiswa dan siswa bahkan pelajar SMP. Secara struktur, tambah Imam, lembaga ini bersifat independen, lepas dari kampus dan sekolah. Mereka berbadan hukum sendiri.
“Saat ini masih saya sebagai direktur Komunitas Saleum, lalu ada Dedy Sahputra sebagai sekretaris dan Rahmat Hidayat bendahara,” urainya.
Semenjak komunitas ini dicetuskan, ada banyak prestasi yang sudah diraih. Ini merupakan cita-cita besar Imam bersama Komunitas Saleum. Sampai saat ini, selain dua albut etni, Komunitas Saleum juga berkesempatan mengikuti berbagai even tingkat nasional dan internasional.
Dalam dunia musik, Komunitas Saleum pernah mengikuti Konser Musik Aceh Kontemporer di Jakarta (2006), Century global music education di Bali (2009), dan mengikutsertakan pemusik untuk Indonesia Orkesra di Australia (2011).
Sebagai komunitas seni yang berdomisili di Banda Aceh, mereka mencari dan merekrut anggota muda untuk dilatih dan dididik sebagai penerus dan penerima estafet seni tari tradisional. Biasanya, yang baru bergabung diberikan jadwal latian rutin selama 3 x seminggu.
“Cita-cita Komunitas Saleum ke depan, Aceh harus mampu melahirkan suatu lembaga yang ideal dan profesional untuk mengatur dan mengontrol setiap gerak langkah seni Aceh di masa akan datang. Paling subtansial adalah bagaimana kesenian itu dapat diberi ruang sebagai salah satu wilayah pekerjaan yang berpendapatan, tidak berupa perkerjaan sambilan semata,” tegas Imam Juaini.
BOX
Prestasi Saleum di bidang musik
- Peluncuran album etnik (2006) dan (2013)
- Konser Musik Aceh Kontemporer di Jakarta (2006),
- Worhsop musik rithem saladi Jakarta (2008)
- Century global music education di Bali (2009)
- Falisitator interaksi intra seni Indonesia di Jakarta (2013)
- Tampil pada acara international festival word Musik di Toraja, Sulawesi Selatan (2013)
- Mengikutsertakan pemusik untuk INO (Indonesia Okestra) di Autralia (2011)
- Pemain terbaik Festival Musik Tradisi Remaja Nusantara di Jakarta (2015)
Prestasi Saleum di bidang tari
- Syuting tari saman gayo, media Antara, Jakarta (2014)
- Penyambutan turis kapal pesiar dengan tari likok pulo (2014)
- Penampilan malam resepsi bersama Mentri Kebudayaan dan Parawisata di Raja Malaysia(ranup lampuan,rapai geleng,seudati, dan likok pulo Aceh), Hermes Hotel (2014)
- Saman gayo pada acara International Festival Kopi, Hermes Hotel (2014)
- Rapai geleng dalam rangka 10 tahun tsunami, Blangpadang (2014).
- Penampilan pertemuan mukim se-Aceh (rapai geleng), Grand Naggroe Hotel (2015)
- Penampilan sosialisasi dep.pertenakan,rumoh PMI 2015.
- Saman gayo, acara ulang tahun Meuseum Aceh, Banda Aceh (2015)
[PM004]
Belum ada komentar