Pembangunan gedung Madani Center masih diselimuti beragam persolaan. Proyek Rp100 miliar itu belum rampung dikerjakan meski masa kontraknya telah berakhir.
Cahaya matahari menyirat pelan hingga menghangatkan seluruh kawasan pekarangan. Hamparan lantai keramik tertata rapi. Semua pirau, hanya ubin berwarna hitam menggaris di beberapa ruas. Ketika berhenti tepat di lantai pekat yang menyepadankan sisi kanan-kiri pekarangan, hingga lurus puluhan meter ke depan, pandangan tertuju pada bangunan megah menjulang. Di sanalah gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC) berdiri.
Kamis pagi (10/1), hanya ada belasan pekerja tengah duduk santai di dalam gedung. Langkah kaki agak terhalang karena beberapa sisa besi perancah merintang dengan sembarang. Seorang pekerja lalu menghampiri, “Maaf bang, sedang perlu apa?”
Tak lama berbincang, barulah pekerja itu menyilakan Pikiran Merdeka untuk melihat-lihat isi dalam gedung.
Beberapa kaca beragam ukuran sedang dipasang di tiap sisi gedung, sengaja digubah agar auditorium tak tampak kedap dengan kontruksi terbuka. Tiang-tiang berderet di tepi menyangga ketinggian ruang. Pekerja masih lalu lalang mengangkat beberapa material.
“Kita lagi proses finishing, pembangunan gedung memang sudah tuntas, tinggal pemasangan kaca yang musti hati-hati, tidak boleh buru-buru,” kata Dayat, salah seorang pekerja.
Memang, dari ratusan pekerja bangunan BMEC, hanya tinggal belasan orang lagi. Selebihnya telah balik ke kampung masing-masing. Pembangunan tahap III Convention Center tahun ini, secara tahun anggaran, telah tuntas. Tapi apakah sudah layak pakai atau belum, masih penuh tanda tanya.
Sambil berjalan melintas di tengah ruang yang amat lebar ini, di langit-langit terlihat cembung raksasa membentuk kubah. Di bagian tengahnya, ada kaca berwarna-warni menyerupai pola arsitektur masjid Turki.
Di bagian belakang gedung, masih ada beberapa pengerjaan pipa. Di situ terdapat kamar mandi. Dua orang pekerja tampak sibuk memperbaiki wastafel. “Tempat cucian tangannya masih ada yang macet,” kata salah seorang di antara mereka.
Sisa-sisa sampah bangunan, seperti kayu, triplek, kertas semen, masih berserakan di bagian belakang gedung. Pembangunan BMEC, seperti yang dikatakan Dayat, “sudah 90 persen.” Karena tak ada lagi pekerjaan berat yang musti dibereskan.
Sejurus kemudian Dayat melangkah keluar sambil mendorong gerobak pasir. Lalu ia berjalan turun ke basement. Mengutip beberapa sampah yang masih bertebaran. Kabarnya, lokasi itu dipersiapkan untuk lahan parkir bagi pengunjung BMEC kelak. Namun yang tampak, genangan air di mana-mana. Hampir menutupi seluruh permukaan lantai basement.
Kepada Pikiran Merdeka, Dayat berujar, genangan ini berasal dari hujan lebat yang mengguyur Banda Aceh beberapa pekan lalu. Saat itu, hujan deras mengaliri air dari atas dan sekeliling gedung, semuanya turun ke basement.

“Karena tempat ini yang paling rendah, jadi bukan saja dari gedung, tapi tanah di sebelah luar juga becek semua, airnya turun kemari,” keluhnya.
Dayat mengaku jika pembangunan lantai basement ini kurang akurat. Buktinya, meski telah dipasang pipa-pipa di pinggiran, genangan air tak kunjung terserap habis. “Ini kalau mau maksimal, harus dilapisi sekali lagi, karena permukaannya memang tidak rata, seperti yang di sana itu kan tidak tergenang airnya,” katanya, menunjuk lantai di ujung basement yang kering.
Lubang pipa di sekeliling basement dipasang untuk mengalirkan air hingga nanti ditampung dalam tabung di belakang gedung. Kedalamannya sekitar satu meter di bawah lantai dasar. Nantinya dengan mesin penyedot di dalam tabung tersebut, air yang telah ditampung akan dibuang ke selokan.
“Jika hujannya lama, tak sanggup lagi dibuang, karena selain genangan air hujan, dari luar itu turun juga kemari. Dari area luar itu. Jadi bak (tabung) itu tak sanggup nyedot yang ini lagi,” kata Dayat.
Aula Convention Center sebagai komponen utama BMEC ini tampaknya perlu disempurnakan lagi. Basemen yang masih rawan tergenang air, ditengarai permukaan lantainya yang tak rata.
Pembangunan struktur bagian bawah (pondasi-basement) gedung Convention Center sejatinya telah selesai pada tahap I tahun 2015 silam. Namun, perhitungan yang tidak akurat membuat basement ini belum bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dayat tak menerangkan lebih jauh, namun ia tak memungkiri pekerjaan proyek kadang lebih menuntut penyelesaian dalam waktu cepat, tapi tak sedikit yang mengabaikan kualitas pembangunan itu sendiri.
“Kami pekerja ini kan, kalau ingin kerjaannya bisa akurat, otomatis perlu waktu yang lebih lama, harus lambat, tidak bisa cepat.”
PROYEK Rp100 MILIAR
Di sekeliling gedung Convention Center BMEC, memang belum dibangun apa-apa. Beberapa gedung bekas ruang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Telkom masih berdiri, kini tidak terpakai lagi. Sejak dua tahun lalu tergusur pembangunan BMEC, sekolah itu bergeser ke area gedung eks-SMK Penerbangan yang lokasinya tak jauh dari situ.
Gedung-gedung bekas itu tak lagi difungsikan. Pemerintah Kota Banda Aceh siap untuk merobohkan seluruhnya guna merampungkan pembangunan lanskap BMEC di wilayah seluas 7,2 ha itu. Gedung Convention Center sendiri dalam rancangannya bakal menyediakan ruang diskusi, seminar, bahkan gelaran eksebisi dengan kapasitas 4.000 orang. Di samping itu juga, BMEC akan mendirikan pusat pelatihan (training center) dan pusat kebudayaan.
BACA: Perlu Audit Menyeluruh Setelah Temuan BPK Tahap Awal
Sedangkan di area sekeliling gedung Convention Center ini, BMEC juga akan membangun gedung untuk SMAN 12 dan SMKN 5 Telkom lengkap dengan sarana dan prasaranya. Selain itu juga akan didirikan penginapan bagi peneliti dan peserta pelatihan untuk umum, serta rumah sakit bertaraf international.

Total dana dibutuhkan untuk keseluruhan Pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMEC ini adalah Rp823 miliar. Pada tahap I tahun 2015 telah dimulai pembangunan struktur bagian bawah (pondasi-basement) gedung Convention Center dan tahun 2016 dilanjutkan tahap ke II dengan penyelesain struktur bangunan dan sebahagian arsitektur.
Di tahap I tahun 2015, pembangunan BMEC menghabiskan anggaran kurang lebih Rp23 miliar. Dana tersebut terdiri dari Masterplan dan Detail Engineering Design (DED) serta pembangunan pondasi gedung. Pada tahun berikutnya di 2016, anggaran yang dihabiskan untuk melanjutkan pembangunan ini sebesar Rp36,3 miliar dan manajemen konstruksinya sebesar Rp999 juta.
Sedangkan di tahap III, pada tahun 2017 pembangunan Convention Center BMEC menghabiskan dana Rp18,7 miliar dengan manajemen konstruksi sebesar Rp543 juta. Seluruh anggaran yang digelontorkan bagi pembangunan ini berasal dari dana Otsus yang dialokasikan untuk Kota Banda Aceh.
DUGAAN PENYIMPANGAN
Pembangunan BMEC sangat dibutuhkan di Banda Aceh. Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Zulfikar ST mengatakan, setidaknya untuk ibukota provinsi yang terus berbenah sejak bencana tsunami tahun 2004 silam, penting mempersiapkan fasilitas semacam itu. Terlebih untuk even-even berskala nasional belakangan ini.

“Kita butuh bangunan untuk mengadakan pertemuan skala besar yang mampu menampung peserta, baik untuk tingkat regional, nasional, dan internasional, bahkan sekarang jadi salah satu pusat kegiatan nasional, dan masuk dalam daftar RPJM nasional. Aceh sudah dianggap layak dan representatif untuk diadakan even-even seperti itu,” jelasnya pada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Seharusnya, lanjut Zulfikar, gedung yang telah menguras anggaran ratusan miliar rupiah dalam waktu tiga tahun itu, sudah bisa difungsikan kini. Namun ia tidak bagitu yakin apakah kontrak untuk tahun 2017 ini target pembangunan BMEC sampai siap digunakan atau tidak. “Jangan sampai jadi bangunan yang tanggung, digunakan tak bisa, tak digunakan tapi sudah berdiri. Anggaran sudah terserap banyak,” tambah dia.
Karenanya, Zulfikar menyayangkan jika bagian gedung seperti basement yang sudah dikerjakan sejak tahap awal pendirian BMEC, namun masih berkutat pada masalah resapan air.
Selama proses pembangunannya, tercatat beberapa kali BMEC didera sengkarut. Masalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB), misalnya. Informasi terakhir yang diterima Zulfikar, hingga kini BMEC belum mengantongi IMB. “Karena bahkan dokumen Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) saja juga tak punya, konon lagi IMB,” pungkasnya.
Sejak tahun 2015, DPRK melalui komisi C saat itu sudah menyoroti Amdal untuk pembangunan BMEC. Namun, sampai tiga tahap pekerjaan dirampungkan, dokumen itu tak kunjung jadi. “Sangat kita sayangkan memang, dari kemarin kita minta untuk diselesaikan. Amdal ini juga terkait dengan anggaran. Pihak ketiga yang menyusunnya. Saya juga tidak mengerti letak kendalanya di mana, sehingga Amdal tidak ada, padahal kita sudah siapkan anggarannya,” sebut anggota DPRK dari Fraksi PKS ini.
Kendati demikian, menurut dia, keterlambatan penyusunan Amdal tak terlalu masalah walaupun pembangunan sudah dikerjakan terlebih dulu. “Memang agak membingungkan, padahal IMB bagi pembangunan fasilitas pemerintah itu free. Tapi kenapa Amdal juga tidak ada, ini yang terlewat dari kita,” keluhnya.
Pada bulan Mei Tahun 2017 lalu, Kabid Penataan Bangunan dan Jasa Kontruksi Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banda Aceh, Muhammad Yasir kepada media mengakui jika BMEC tak mengantongi dokumen Amdal dan IMB. Namun, ia berdalih izin untuk Amdal terhadap gedung itu telah dimasukkan ke dalam satu paket kegiatan pengawasan. “Karena pada tahun sebelumnya (2016) tidak ada yang minat untuk ikut tender penyusunan Amdal ini, padahal pembangunan BMEC sudah dikerjakan,” jawabnya.

Dari laman pengadaan.net, terdapat data tender untuk kegiatan Jasa Konsultansi Penyusunan Dokumen dan Study Lingkungan Hidup pada kegiatan pembangunan dan pengoperasian gedung Madani Center. Tender itu berlangsung tiga kali, dari April hingga Juli tahun 2016 dengan angka masing-masing tender senilai Rp300 juta.
SENGKETA LAHAN
Masalah lain yang ada di BMEC adalah soal kepemilikan lahan. Informasi yang diterima komisi C DPRK Banda Aceh dari Badan Pengelola Keuangan Kota (BPKK), lahan pendirian BMEC adalah milik Pemkot Banda Aceh.
“Ketika diminta pihak provinsi bermodal Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Sisdiknas, sekolah SMA dan SMK kan dikelola oleh pemerintah provinsi. Itu bekas lahan SMK yang sudah pindah ke Lhong Raya. Jadi lahan yang menjadi tempat SMK berkegiatan itulah yang diserahkan ke Pemprov,” kata anggota komisi C DPRK Banda Aceh, Zulfikar.
UU Sisdiknas tersebut menjelaskan bahwa pendidikan setingkat SMA/SMK telah menjadi tanggung jawab dan kewenangan Pemprov. Kewenangan yang dimaksud meliputi alokasi dana, tenaga pengajar, infrastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Area bekas SMEA yang total memiliki luas 7,1 hektar ini akhirnya sempat jadi rebutan. Kepala Bidang Aset BPKK Banda Aceh, Haris Iman kepada Pikiran Merdeka mengatakan hingga kini tim validasi Pemerintah Aceh belum juga datang ke Pemko untuk membahas soal kepemilikan aset Kota Banda Aceh. Sebelumnya, tim ini dibentuk untuk mendata kembali seluruh aset yang berada di kabupaten/kota di Aceh.

Banda Aceh.
“Sementara untuk sertifikat lahannya, masih atas nama Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soal validasi, mungkin untuk Banda Aceh akan dilakukan pada tahun 2018 ini,” katanya, Jumat (12/1) pekan lalu.
Secara terpisah, Zulfikar menyampaikan pihaknya telah meminta BPKK memperjelas duduk perkara soal lahan BMEC itu. “Jangan sampai menjadi pro-kontra, kami DPRK terus mengawasi. Kami rekomendasikan ke Walikota supaya BPKK menuntaskan data aset.”
Sembari menyelesaikan masalah ini, DPRK meminta agar dalam APBK di tahun 2018 proyek BMEC tidak diprogramkan dulu. “Kita minta stop dulu. Tapi apakah kemudian ini tetap masuk dalam Otsus nanti milik Pemprov, saya kurang tahu. Yang jelas, rekomendasi kita harus selesaikan dulu evaluasi terhadap kepemilikan lahan secara menyeluruh. Sehingga nanti kalau memang dilanjutkan, dimana-mana sisinya jelas semua, jadi kita tenang melakukan pembangunan. Jangan seperti ini kan, banyak kendala tak juga bisa dipakai nanti,” ujar dia.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil rapat, untuk tiga bulan ke depan komisi yang membidangi keuangan dan pembangunan ini akan fokus mencari informasi utuh tentang aset Kota Banda Aceh. “Kita ingin tahu bagaimana legalitasnya, siapa yang memanfaatkannya hari ini, dan apa manfaat yang diterima Pemko selama ini, sehingga kita bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jangan sampai ada aset yang dikelola tanpa memberi manfaat untuk warga kota,” imbuhnya.[]
Belum ada komentar