Kautsar dan Tiong menjadi inisiator penggugat UU Pemilu yang dianggap mempreteli kewenangan UUPA. Keduanya menjadi lokomotif dalam mempertahankan marwah Aceh.
Salah satu penggugat, Samsul Bahri bin Amiren tak bisa menyembunyikan kegembiraannya atas putusan MK pada Kamis pekan lalu. Ia mengucapkan rasa syukur atas putusan ini yang menyelamatkan pasal-pasal di UUPA tak kembali dipangkas dengan UU yang lebih tinggi. “Terima kasih kepada rakyat Aceh, karena kemenangan ini berkat dukungan dan doa dari rakyat Aceh,” tutur legislator yang akrab disapa Tiong ini, Sabtu 13 Januari 2018
Politisi dari Partai Nanggroe Aceh ini berharap, ke depan seluruh komponen di Aceh juga harus mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Disebutnya, gugatan itu dilayangkan dirinya bersama Kautsar bukan untuk curi start atau ingin dianggap pahlawan. Namun merupakan upaya untuk mempertahankan kekhususan dan marwah Aceh.
“Karena kejadian ini (pencabutan pasal UUPA) pernah terjadi dalam kasus sebelumnya, namun saat itu DPRA secara kelembagaan diam hingga akhirnya kita kalah dalam gugatan di MK.
Sementara pada gugatan UU Pemilu ini, DPRA akhirnya ikut mengugat bersama kita, makanya menang. Kami sangat bahagia dan mendukung keputusan tersebut. Artinya, kami secara bersama-sama berjuang mempertahankan UUPA,” tuturnya.
Baca: Mengembalikan Marwah Aceh
Ia juga menekankan, bahwa kemenangan ini bukan milik pribadi dan tak boleh ada yang merasa menjadi pahlawan. “Tidak ada yang menjadi pahlawan, ini semua untuk rakyat Aceh,” tegas Tiong.
Lebih lanjut Tiong menegaskan, ke depan tak boleh ada lagi aturan perundang-undangan yang menyangkut kekhususan Aceh yang dibuat Pemerintah Pusat dan DPR RI tanpa melibatkan DPRA.
Ketua Harian PNA ini juga meminta Pemerintah Aceh dan DPR Aceh harus serius mengawal UUPA. Salah satu caranya dengan membentuk tim pengawal UUPA, yang terdiri dari unsur DPRA maupun Pemerintah Aceh.
Terkait adanya usulan merevisi UUPA dari sejumlah pihak, Tiong mengakui bahwa UUPA sendiri masih banyak kelemahan dan tak sepenuhnya mengacu kepada perjanjian damai Pemerintah Pusat dan GAM pada 15 Agustus 2015 silam.
“UUPA tidak seratus persen mengadopsi MoU Helsinki. Banyak sekali yang dalam MoU Helsinki disebutkan kekhususan Aceh, tapi di dalam UUPA malah hanya disebutkan pertimbangan Aceh. Ini yang sangat kita sesalkan,” ujar anggota Komisi IV DPRA ini.
Baca: Mengawal Keutuhan UUPA
Untuk itu ke depan, jika pun ada rencana merevisi UUPA, harus ada inisiatif dari kedua belah pihak, antara legislatif dan eksekutif. Sebagai salah satu anggota DPRA, ia menyerahkan mekanisme tersebut kepada pimpinan DPRA.
“Rencana amandemen atau merevisi UUPA sah-sah saja. Namun tentu hal tersebut memerlukan proses. Secara pribadi, saya tidak bisa berkomentar lebih jauh. Itu (revisi) menjadi hak dan tanggung jawab DPRA secara kelembagaan serta harus ada kesepahaman dengan pihak eksekutif,” katanya.
INISIATOR AWAL
Kautsar dan Tiong mendaftarkan gugatan uji materi dua pasal di UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pada Selasa, 22 Agustus 2017. Gugatan Kautsar dan Tiong ini dipercayakan untuk ditangani dua putra Aceh yang kini menjadi pengcara di Jakarta, Komaruddin dan Maulana Ridha. Di dalam berkas permohonan tertera gugatan diajukan oleh Tim Advokasi Gabungan Masyarakat Aceh Peduli UUPA yang beralamat di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Perkara ini sudah disidangkan sejak 5 September 2017.
Bila dirunut ke belakang, keduanya bisa dibilang sebagai lokomotif pengawalan UUPA. Mereka berinisiatif menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) di tengah saling lempar handuk antara DPRA dengan anggota DPR RI asal Aceh.
Menurut Kautsar, saat itu mereka menggugat UU Pemilu ke MK karena Pemerintah Pusat dianggap tidak menghargai dan ingin menghapuskan kekhususan Aceh. Apalagi dalam merumuskan UU tersebut, Jakarta tidak pernah memintai pendapat dan pertimbangan Pemerintah Aceh dan DPRA.
Saat didaftarkan, UU Pemilu sendiri baru beberapa hari lalu diteken Presiden Joko Widodo. Tepatnya pada 16 Agustus 2017. Undang-undang tersebut terdaftar di lembaran negara sebagai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Jika menilik isinya, ada beberapa efek yang ditimbulkan sejak berlakunya UU tersebut. Paling menyakitkan bagi Aceh, sebagaimana tertuang dalam pasal 531 UU Pemilu, membuat pasal 57 tentang Komisi Independen Pemilihan dan pasal 60 tentang Panitia Pengawas Pemilihan dalam UUPA tak berlaku lagi. Ayat pertama pasal ini menyebutkan, kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri dari KPU dan Bawaslu provinsi maupun kabupaten/kota atau dengan sebutan lain merupakan satu kesatuan kelembagaan yang bersifat hierarki dengan KPU dan Bawaslu Pusat.
Selanjutnya di pasal 2 disebutkan, kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat pertama, pada saat undang-undang mulai berlaku wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada UU Pemilu tersebut.
Akibatnya, dalam penyelenggaraan Pilkada 2017 lalu, Aceh harus mengikuti UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pilkada.
“Pada UU Pemilu baru, ini menafikan kekhusan Aceh. Di mana pada UU Nomor 11 Tahun 2006 ditegaskan, Pemilu Aceh ditetapkan oleh KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh dengan kerja sama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat. Namun UU Pemilu baru menafikan itu, lembaga yang mengadakan menjadi KPU Pusat,” ujar Kautsar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 22 Agustus lalu.
Sementara Samsul Bahri saat itu mengatakan gugatan tersebut untuk mempertahankan kekhususan Aceh. Tiong khawatir, pencabutan pasal-pasal UUPA tanpa berkordinasi dengan Pemerintahan Aceh menjadi langkah awal Jakarta untuk mengebiri satu persatu kewenangan Aceh yang sudah tertuang dalam perjanjian damai di Helsinki.
“Dalam UUPA, komisioner KIP Aceh dan Panwaslu dipilih oleh DPRA. Pencabutan dua pasal ini sudah mengesampingkan undang-undang kekhususan Aceh yang merupakan turunan naskah MoU RI dengan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005,” kata mantan kombatan GAM ini pada Pikiran Merdeka, medio September 2017.
Gugatan keduanya tak berjalan mulus. Dalam persidangan, majelis hakim sempat mempertanyakan soal legal standing (kedudukan hukum) para penggugat. Dalam paparannya, hakim menilai belum melihat kerugian Kautsar dan Tiong sebagai warga negara Indonesia apabila pasal yang dipersoalkan itu dicabut atau diubah.
“Ini agak unik. Pemohon, Pak Kautsar. Di permohonan disebutkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia. Tetapi pasal yang dipersoalkan soal KPU atau KIP Aceh,” ujar hakim Palguna saat sidang pertama pada 5 September tahun lalu.
Bahkan, hakim sempat menyarankan penggugat mengajak anggota KIP Aceh ikut menggugat. “Kalau ada anggota KIP, jelas dirugikan. Nah, sebagai individu dalam kedudukan sebagai warga negara Indonesia, apa yang merugikan saudara?” tanya Palguna. “Tak perlu dijawab, dicatat saja. Itu pun kalau mau diperbaiki, kami hanya menyarankan saja,” tambah Palguna.
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Kamaruddin sempat menjelaskan uraian tentang latar belakang sejarah lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Namun, hakim menilai argument tersebut hanya pelengkap. Menurut Palguna, dibutuhkan uraian lebih lengkap tentang bagaimana pertentangannya dengan UUD 1945.
“Terkait perjanjian damai kan itu latar belakang saja. Alhamdulillah masa-masa gelap itu telah lewat. Mengenai legal standing ya Pak Kautsar atau kuasanya, diperhatikan sungguh-sungguh tentang legal standing-nya. Harus tampak di mana kerugiannya. Itu yang mesti dijelaskan,” kata Palguna memberi masukan.
Hakim anggota Wahduddin Adams juga ikut memberi masukan. Wahduddin meminta penjelasan lemgkap tentang adanya pasal di UUPA yang mensyaratkan tiap perubahan UUPA mesti dikonsultasikan dengan DPRA.
“Soal itu kok hanya disinggung selintas saja. Tapi sekali lagi harus diperkuat di legal standingnya dulu. Namun, materinya juga harus dipertajam. Apa makna saudara mengatakan itu bahwa harus dikonsultasikan ke DPR Aceh. Ini sudah menjadi undang-undang,” tambah Wahdudin.
Menjelang akhir sidang, majelis hakim memberi kesempatan pemohon menyampaikan sesuatu. Kautsar pun memanfaatkan kesempatan itu dengan menjelaskan dirinya dan Samsul Bahri alias Tiong adalah anggota DPR Aceh yang punya wewenang merekrut anggota KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). “Nah, kalau begitu kaitkan nanti dalam permohonannya,” kata hakim.
Majelis hakim lalu memberi kesempatan 14 hari kepada pemohon dan kuasa hukumnya untuk menyampaikan perbaikan permohonan uji materi paling lambat Senin, 18 September 2017, pukul 10.00 WIB.
DPRA IKUT GERBONG
Sehari seusai Kautsar dan Tiong melayangkan gugatan, terjadi kasak-kasuk di DPRA. Dalam berbagai pertemuan kecil, meminta DPRA ikut menggugat juga disuarakan. Koalisi utama di DPR Aceh, yakni Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) sepakat dengan langkah Kautsar dan Tiong.
“KAB mendorong DPRA untuk menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua KAB, Muazkir Manaf, 22 Agustus 2017.
KAB mendorong pembentukan Tim Khusus yang terdiri dari elemen politik, civil society dan akademisi yang bertugas menganalisa dan mengkaji kelebihan dan kekurangan UU Pemilu serta undang-undang sektoral lainnya yang mengkerdilkan UUPA dan mengusulkan tindakan lanjutan kepada DPRA.
Namun, jika dirunut lebih jauh ke belakang, DPRA sendiri dinilai telat bersikap. Setidaknya hal itu bersadarkan pengakuan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp akademisi dan jurnalis di Aceh. Diakui mantan Plt Gubernur Aceh ini, pada saat UU tersebut belum diteken dan muncul gejolak serta penolakan di Aceh, ia sudah membicarakannya dengan Ketua Pansus, Lukman Edy.
Ia lalu menyarankan DPRA membangun komunikasi langsung dengan Pansus UU Pemilu. “Yang saya sarankan Tim Advokasi Pemerintah Aceh atau Banleg DPRA bisa langsung telepon ke Ketua Pansus Bapak Lukman Edy, atau kirim surat segera ke beliau karena posisi draf UU Pemilu tersebut masih di Sekretariat Pansus,” ujar Soedarmo, 25 Juli 2017.
“Saya sudah menginformasikan dalam masalah ini ke Sekretariat Pansus, prinsipnya akan dibahas ulang asal ada permintaan atau surat resmi nanti formnya akan disiapin oleh Set Pansus,” tulis Soedarmo lagi.
Salah seorang anggota DPRA, Azhari Cage sempat menyahuti penjelasan Soedarmo. Ia menyatakan DPRA akan segera menindaklanjuti informasi tersebut dengan mengeluarkan sikap resmi. Namun, nyatanya tidak. DPRA diketahui tak jadi mengirimkan surat keberatan tersebut. Hal ini diketahui dari pengakuan Kautsar.
Kautsar mengakui ide menggugat UU Pemilu awalnya datang dari pertanyaan Tiong kepadanya saat ia mengkritik pimpinan DPRA karena terlambat mengirim surat ke pusat. “Tiong tanya saya, apa yang harus dilakukan DPRA? [Saya jawab] sudah terlambat. Peluang yang ada sekarang hanya segera lakukan JR (judicial review) setelah UU diteken presiden,” ujar Kautsar sebelum mendaftarkan gugatan.
DPRA sendiri baru benar-benar bersikap tiga hari berselang. Dalam paripurna khusus pada Jumat, 25 Agustus lalu, seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sepakat melayangkan gugatan Judicial Review UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Sidang yang dimulai sekitar pukul 14.30 WIB dipimpin Ketua DPRA Muharuddin didampingi Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda dan dihadiri sejumlah anggota dewan. Rapat sore itu adalah lanjutan sidang sehari sebelumnya yang berisi tanggapan fraksi-fraksi mengenai dicabutnya dua pasal UUPA dengan lahirnya UU Pemilu baru. Secara umum seluruh fraksi menilai, UU Pemilu yang baru diteken Jokowi merupakan perbuatan melawan hukum.
Akhirnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh secara resmi mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin, 28 Agustus 2017 sekira pukul 14.20 WIB.
Pendaftaran itu dilakukan oleh Ketua DPRA Teungku Muharuddin dan tim kuasa hukum yang terdiri dari Burhanuddin Jalil, Mukhlis Mukhtar, serta Zaini Djalil. Juga hadir Ketua F-PA Iskandar Usman dan anggota DPD RI Sudirman alias Haji Uma.
Selasa 29 Agustus 2017, DPRA kembali melengkapi alat bukti terkait gugatan uji materil UU Pilkada ke MK. Penyerahan alat bukti ke MK tersebut dilakukan Iskandar Usman Al-Farlaky, didampingi kuasa hukum DPRA Burhanuddin Jalil, Mukhlis Mukhtar, dan anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman.
Dokumen sebanyak tiga kardus dengan masing-masing 12 rangkap diserahkan untuk bukti tambahan. Dokumen tersebut juga dilengkapi surat pengantar yang diteken seluruh kuasa hukum DPRA.
PREDIKSI MENANG
Sejak awal, pakar Hukum Tata Negara, Dr Amrizal J Prang menilai, Pemerintah Pusat dan DPR RI telah melakukan pelanggaran hukum saat mengeluarkan UU Pemilu tanpa meminta pertimbangan dan konsultasi dengan DPRA. Hal ini seperti disebutkan dalam pasal 269 UU Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh.
Apalagi DPRA akhirnya ikut melakukan uji materil UU Pemilu, ia menaruh harapan besar gugatan tersebut diterima MK. “Besar peluang gugatan DPRA akan diterima oleh MK, karena mereka punya legal standing yang cukup kuat,” ujar Amrizal, Sabtu, 9 September 2017.
Menurutnya, saat menyidangkan gugatan DPRA, MK tentu akan melihat sejarah terbentuknya UUPA di mana peran DPRA sangat kuat dalam melahirkan UUPA. “Hakim akan menilai apakah pembatalan dua pasal UUPA di UU Pemilu bertetangan dengan UUD 1945 sebagaimana disebutkan di pasal 18B yang berbunyi, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang,” sebut Amrizal.
Dalam perspektif perundang-undangan, tegas dia, UUPA setara dengan UU lainnya. Hanya saja, dia menilai ada kelemahan mendasar di UUPA, sehingga dengan mudah berbagai pasal di dalamnya dicabut dengan pemberlakuan UU terbaru. Kelemahan mendasar tersebut dikarenakan tidak secara jelas disebutkan apa saja kekhususan Aceh.
“Tak disebutkan secara detil kekhususan Aceh apa saja, sehingga hakim MK dalam keputusannya mempunya intepretasi sendiri dalam memutuskan apakah pasal-pasal yang digugat ke MK mencakup kekhususan Aceh atau tidak,” terang Amrizal.
“Saya melihat, pasal-pasal yang pernah digugat dan dikabulkan oleh MK, arena pasal tersebut tidak dianggap mencerminkan kekhususan Aceh,” sambung Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Malikussaleh (IKA-Unimal) ini.
Dalam catatannya, Amrizal mencontohkan, banyak pasal di UUPA dianulir. Misalnya, MK pada 2011 lalu membatalkan Pasal 256 UUPA yang mengatur soal calon independen hanya sekali dalam Pilkada Aceh. MK menilai pasal tersebut tidak terkait dengan kekhususan Aceh.[]
Belum ada komentar