Prosesi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 di Aceh yang meliputi pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di Aceh telah usai dilaksanakan 15 Februari lalu.
Hasil rekapitulasi suara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, menempatkan Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah berada di urutan pertama dengan 898.710 suara atau mencapai 37,21 persen dari total suara sah, disusul Muzakkir Manaf-TA Khalid pada urutan dua dengan 766.427 suara atau sebesar 31,73 persen dari total suara sah. Lalu Tarmizi A Karim-T Machsalmina Ali pada urutan ketiga dengan perolehan 406.865 suara (16,84%), Zaini Abdullah-Nasaruddin pada urutan empat dengan perolehan suara 167.910 suara (6,95%), Zakaria Saman-Aladinsyah pada urutan lima dengan perolehan suara 132.981 suara (5,5%), dan Abdullah Puteh-Sayed Mustafa Usab Al-Idroes pada urutan terakhir dengan perolehan 41.908 suara (1,73%).
Terlepas hasil pleno KIP Aceh tersebut, Pilkada 2017 merupakan momentum untuk menentukan arah pembangunan Aceh dalam lima tahun mendatang. Bagi Irwandi-Nova yang kemungkinan besar akan menjadi pemimpin Aceh pasca berakhirnya pemerintahan dr Zaini Abdullah-Muzakir Manaf pada akhir Juni 2017, sedikitnya terdapat empat permasalahan utama yang mendesak untuk diperbaiki di Provinsi Aceh.
Pertama, mengurangi angka kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Aceh masih sangat tinggi dan berada di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Pada 2014 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 837 ribu jiwa (16,98% dari total jumlah penduduk) dan meningkat menjadi 859 ribu jiwa atau mencapai 17,11% pada 2015. Bahkan pada 2015 Aceh menempati urutan dua provinsi termiskin di Pulau Sumatera dan berada pada urutan tujuh termiskin di Indonesia.
Sungguh ironi, Aceh yang kaya potensi sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, tetapi rakyatnya miskin. Lebih tragis bila dibandingkan dengan daerah tetangga, sebut saja Sumatera Barat yang tingkat kemiskinannya hanya 6,71%. Padahal, anggaran pembangunan daerah Sumatera Barat hanya berkisar sekitar Rp4 triliun dalam beberapa tahun terakhir ini. Sedangkan anggaran pembangunan daerah Aceh rata-rata mencapai Rp 12 triliun atau hampir mencapai 3 kali lipat lebih besar dibandingkan Sumatera Barat.
Kedua, rendahnya pembukaan lapangan kerja menyebabkan tingginya angka pengangguran. Berdasarkan data yang dirilis BPS, pada tahun 2014 tingkat pengangguran terbuka Provinsi Aceh mencapai 9,02% dan meningkat menjadi 9,93% pada 2015 (urutan ke-1 dari 34 provinsi di Indonesia). Hal ini sungguh menyesakkan dada, mengingat Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah dan bonus demografi.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), bonus demografi merupakan bonus yang dapat dinikmati oleh suatu negara/wilayah sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk yang usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Pada periode itu, jumlah usia angkatan kerja, yakni yang berusia 15-64 tahun, diperkirakan mencapai sekitar 70%. Bonus demografi akan menjadi bumerang dan malapetaka, apabila pemerintah tidak siap dan tidak sigap dalam memanfaatkannya.
Ketiga, rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat Aceh. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan bidang pendidikan ialah berdasarkan nilai persentase tingkat buta huruf. Semakin tinggi angka persentase penduduk yang buta huruf maka semakin rendah pula tingkat pendidikan di daerah tersebut, begitu pula sebaliknya. Publikasi Aceh Dalam Angka 2016 menunjukkan, bahwa persentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf di Aceh mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014. Pada 2015 persentasenya mencapai 2,09%, meningkat sebesar 0,52% dibandingkan tahun 2014 yang hanya 1,57%. Tidak heran, bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Aceh berada pada urutan lima dari 10 provinsi di Pulau Sumatera dan menempati urutan 13 dari 34 provinsi di Indonesia.
Permasalahan utama yang mendesak lainnya ialah tata kelola pemerintahan yang perlu dibenahi. Pembersihan (sterilisasi) setiap dinas dan instansi dari perilaku dan mental korup (keserakahan) para pejabat. Ini tidak saja korupsi dalam hal keuangan, tapi juga korupsi dalam hal waktu seprti pejabat yang tidak bekerja sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) berlaku dan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Permasalahan di atas sangat mendesak untuk dapat dituntaskan dengan semaksimal mungkin dan dalam waktu secepat mungkin, mengingat anggaran pembangunan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang akan berkurang setengah pada 2023 dan akan habis pada 2028.
Baca: Pemimpin Tujuh Nafas
TRANSFORMASI PEMBANGUNAN
Banyak faktor yang menyebabkan ironi ini. Paling menonjol ialah fenomena ganti pemerintahan ganti kebijakan. Hal ini merupakan penyakit utama bangsa Indonesia, bahkan melanda hampir setiap daerah dan instansi pemerintahan yang dipicu ego sektoral dan keserakahan yang mendominasi (hubbud dunya). Padahal, mencintai dunia secara berlebihan merupakan induk segala kesalahan (maksiat) serta perusak agama.
Karena itu, pemimpin terpilih harus menjadi teladan bagi seluruh jajaran dan bawahannya, baik secara kata-kata maupun secara kinerja yang dibuktikan dengan prestasi dalam membangun Aceh lima tahun ke depan.
Harapan kita, gubernur dan wakil gubernur terpilih juga harus menghindari proyek-proyek ghaib (tidak jelas) serta harus fokus pada program pembangunan yang berdampak langsung terhadap pemberdayaan masyarakat, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun dalam jangka panjang. Hal ini dapat terwujud apabila pemimpin mempunyai visi dan misi yang jelas, bijaksana dan memiliki konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Menurut Brundtland Report dari PBB, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip ‘memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan’. Dengan kata lain, pembangunan harus efektif, ramah lingkungan dan bermanfaat untuk seluruh lapisan masyarakat.
Melihat begitu kompleksnya dinamika permasalahan di Aceh saat ini, sudah saatnya semua elite politik Aceh bergandengan tangan, bahu membahu serta mengeluarkan jurus terbaik sesuai bidangnya masing-masing dalam pembangunan Aceh. Sehingga, kaum intelektual, pemuda, tokoh-tokoh perjuangan dan lain sebagainya tidak terjebak dan terperangkap dengan saling sindir dan saling hujat antar sesama. Apapun hasil ketetapan KIP dalam Pilkada Aceh tahun 2017, mari kita syukuri dan ambil hikmahnya. Hal ini sesuai dengan anjuran Allah Swt dalam firman-Nya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Saat ini, merupakan momentum yang tepat untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam membangun Aceh menjadi daerah yang lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan menjadi role model (teladan) pembangunan sesuai dengan harapan dan cita-cita perjuangan.[]
Belum ada komentar