Gerilya mencari dukungan di Jakarta tidak berjalan mulus. Gubernur Zaini Abdullah justru mendapatkan kado pahit dari dari Mendagri.
Keinginan Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk bertemu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Kamis pekan lalu, tak terkabul. Abu Doto, begitu biasa Zaini disapa, pulang dengan tangan kosong. Informasi yang diterima Pikiran Merdeka, Tjahjo menolak bertemu Zaini. Ia beralasan sedang ada acara.
Keengganan Tjahjo tersebut diduga terkait keinginan Abu Doto membicarakan soal mutasi pejabat eselon II pada 12 Maret 2017. Setelah pelantikan tersebut, puluhan pejabat yang lengser datang ke Jakarta mengadu kepada Direktur Jenderal Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri. Para pejabat ini menilai, mutasi tersebut melanggar sejumlah regulasi.
Beberapa hari kemudian, Jakarta khususnya Kemendagri mengirimkan sinyal tak sepakat terhadap mutasi yang dilakukan Abu Doto. Entah karena melihat isyarat tak baik, Abu pun berniat sowan ke Mendagri. Apa daya, gayung tak bersambut, Tjahjo menolak bertemu.
Ditolak Tjahjo, “gerilya” politik Abu Doto berlanjut. Ia mendatangi Kantor Kemenkopolhukam di Jalan Merdeka Barat. Ikut bersama Abu, Kepala Biro Hukum Edrian, Kepala Biro Humas Mulyadi Nurdin, Staf Khusus Gubernur Fakhrulsyah Mega, dan tim transisi gubernur, Fauzan.
Saat bertemu Menkopolhukam Wiranto, Abu menyampaikan kondisi terkini Aceh terkait politik, hukum, dan keamananan usai Pilkada. Ia juga melaporkan kondisi Aceh aman terkendali dan roda pemerintahan berjalan normal. Di samping itu Abu juga melaporkan persiapan pelaksanaan Pertemuan Nasional Kontak Tani dan Nelayan pada Mei nanti.
Mendengar laporan tersebut Wiranto menginginkan roda pemerintahan Aceh berjalan baik, dan seluruh program pembangunan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Aceh. Wiranto juga memberikan dukungan kepada Abu untuk menjalankan pemerintahan. Jika ada kendala, ia akan membantu berkoordinasi dan meluruskannya dengan pihak terkait.
Tidak diketahui apakah dalam pertemuan itu Abu juga “curhat” soal mutasi kontroversi yang dilakukannya. Yang jelas, di akhir pertemuan, Staf Ahli Menkopolhukam Prof Ryaas Rasyid yang menemani Wirantor berpesan supaya tidak semua persoalan di daerah dibawa ke Jakarta. Hal ini, kata Ryaas, sesuai dengan pesan Presiden Jokowi agar jangan sedikit-sedikit daerah mengadu ke pusat. “Otonomi harus dijalankan dengan benar, Apalagi Aceh mengelola pemerintahan berdasarkan kewenangan otonomi khusus,” ujar Ryaas.
MUTASI KONTROVERSI
Senada dengan tanggal, mutasi pada 10 Maret lalu merupakan yang kesepuluh kalinya dilakukan Zaini Abdullah sejak terpilih menjadi Gubernur Aceh dalam Pilkada 2012. Saat mutasi teranyar itu, Abu Doto melantik 33 pejabat Eselon II di Gedung Serbaguna Setda Aceh.
Baca : Pakar Hukum Tata Negara, Mawardi Ismail, Gubernur Zaini Terancam Pidana
Abu Doto berpendapat, dasar hukum pelaksanaan mutasi adalah UUPA. Sebab itu, meskipun adanya aturan lain, ia menilai tak melanggarnya karena Aceh jika merujuk ke UUPA berlaku lex specialis yang dapat mengesampingkan aturan secara umum.
Kepada wartawan saat itu, Zaini mengaku sudah berkoordinasi dengan Mendagri terkait proses pelantikan tersebut. Bahkan, ia mengakui telah mengirim pesan singkat terkait keputusan mutasi tersebut. Namun Zaini tak menjelaskan apakah Mendagri menyetujui pergantian tersebut atau tidak. “Kerja saja dan tidak perlu khawatir. Karena apa yang kita jalankan ini sudah sesuai aturan. Kita bekerja untuk melayani rakyat, jadi kenapa harus takut,” sebut Zaini.
Perombakan kabinet itu membuat 20 pejabat tergerus. Mereka termasuk dalam 62 pejabat eselon IIa dan IIb yang dilantik Plt Gubernur Aceh Soedarmo pada 26 Januari 2017. Kala itu, para pejabat tersebut dilantik untuk mengisi Struktur Organisasi Tata Kerja Pemerintah Aceh yang didasari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Pengukuhan dan pelantikan pejabat yang dilakukan Soedarmo tersebut juga diatur dalam Qanun Susunan Organisasi Tata Kerja Aceh Nomor 13 Tahun 2016. Lewat peraturan ini sekaligus terjadi perubahan nama dan struktur dalam organisasi di Pemerintah Aceh. Total, ada 1.363 pejabat baru di lingkup Pemerintah Aceh yang dilantik Soedarmo secara marathon.
Adapun Soedarmo yang diwawancara Pikiran Merdeka setelah mutasi Abu Doto tersebut mengatakan apa yang dilakukan Gubernur Aceh melanggar aturan. “Itu tidak boleh dilakukan jika belum izin Mendagri. Karena kan dia (Zaini Abdullah) waktunya tinggal tiga bulan, nggak bisa itu,” ujar Soedarmo.
Menurutnya, pelanggaran tersebut akan ada sanksinya. “Kan percuma undang-undang dibuat kalau tidak ada sanksi atas pelanggaran,” ujar Soedarmo.
Sebagai mantan Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menilai mutasi tidak bisa seenaknya dilakukan. “Jadi pejabat itu harus baik, harus bijaklah. Saya yakin pasti buat pengaduan orang-orangnya,” ujar Soedarmo. Apa yang dikatakan Soedarmo memang menjadi kenyataan kemudian. Para pejabat yang dibangkupanjang Zaini mengadu ke Kemendagri.
Seharusnya, tambah Soedarmo, dengan waktu yang tinggal sebentar lagi Zaini menggunakannya untuk berkomunikasi secara baik dengan kepala SKPA-SKPA yang ada. “Bukan mengaduk-ngaduk kaya begitu. Itu kan tindakan tidak benar, tidak membuat suasana kondusif dalam pemerintahan. Tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik,” tukas Soedarmo.
Sekarang, tambah Soedarmo, waktunya untuk melanjutkan program-program yang telah ia buat sebelumnya. “Pejabat yang saya lantik itu orang-orang yang profesional dan bukan main-main. Saya tidak ada kepentingan dengan orang-orang yang diangkat kemarin. Saya memprioritaskan orang-orang yang profesional untuk duduk di setiap SKPA.”
CARI DUKUNGAN
Tak ingin pulang dengan tangan kosong, sekembalinya ke Aceh pada Kamis pekan lalu, Abu mengajak pakar hukum tata negara Refly Harun. Entah apa maksudnya. Namun, keesokannya, Refly hadir menjadi pembicara dalam diskusi tentang kontroversi pergantian pejabat Aceh tersebut di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.
Di dalam diskusi, secara langsung Refly membela Abu Doto. Menurutnya, kebijakan pergantian 20 pejabat eselon II tidak ada masalah sama sekali. “Terima saja keputusan gubernur sehingga pelayanan publik tidak terhambat,” ujarnya.
Jika ada yang keberatan, kata Refly, dapat menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau Komisi Aparatur Sipil Negara. “Kita tidak ada kewenangan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah, karena itu perspektif Mendagri,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, ada dua regulasi yang bertolakbelakang dalam mengatur pelantikan pejabat ketika Pilkada. Kedua regulasi dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh atau UUPA dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Refly mengaku termasuk orang yang mengkritik UU Pilkada karena sudah masuk ranah pemerintahan. “Menurut saya, kita menggaruk di tempat yang tidak gatal,” ujarnya.
Masuknya UU Pilkada ke ranah pemerintahan, kata Refly, karena yang dipersoalkan dalam regulasi ini jangan sampai calon petahana menggunakan aparatur sipil negara untuk membenarkan dirinya. “Jika itu yang dipermasalahkan, harusnya yang perlu diperkuat itu fungsi pengawasan dan penyelesaian sengketa penegak hukum. Ini yang tidak dilakukan anggota DPR,” ujarnya.
Sementara, jika Pasal 71 UU Pilkada yang mengatur batasan calon petahana melakukan mutasi dikritik, kata Refly, juga tidak ada untungnya karena itu hukum positif yang berlaku sekarang dan wajib ditaati.
SURAT MENDAGRI
Namun, pada hari yang sama “pembelaan” Refly terhadap Abu Doto seperti dibalas dengan datangnya surat berkop Kementerian Dalam Negeri. Surat bertanggal 24 Maret 2017 itu ditujukan kepada Gubernur Aceh. Ditandatangani Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono, surat bernomor 820/2138/OTDA tersebut berisi tentang penjelasan mutasi jabatan di lingkungan Pemerintah Aceh.
Surat dibuka dengan menyinggung warkat pengaduan yang sebelumnya datang dari pejabat Pemerintah Aceh pada 12 Maret. Dalam surat yang kopiannya diperoleh Pikiran Merdeka tersebut, disebutkan sebelumnya para pejabat itu mengadu bahwa mutasi dilakukan tanpa persetujuan Mendagri lebih dulu.
Menindaklanjuti laporan itu, Kemendagri melakukan pertemuan untuk membahasnya. Pada 14 Maret, Kemendagri bertemu Kemenpan RB dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Lalu 23 Maret bertemu Kemenpan RB, KASN dan BKN. Kemudian pada 24 Maret, Kemendagri kembali melakukan pertemuan dengan Kemenkopolhukam dan Kemenkumham.
Setidaknya ada delapan poin penegasan Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam surat tersebut. Di poin ketiga disebutkan, dalam ketentuan pasal 71 ayat 2 UU Pilkada, gubernur atau wakil gubernur dilarang mengganti pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
Lalu di poin kelima disebutkan, dalam ketentuan pasal 119 UUPA, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Aceh ditetapkan oleh gubernur. Menurut Mendagri, dalam UUPA tidak diatur persyaratan dan prosedur terkait pengangkatan tersebut sebagai lex spesialis. Karena tidak diatur, sebut Mendagri, berlaku UU Pilkada sebagai lex generalis.
Selain itu, pasal 118 UUPA menyatakan pegawai negeri sipil di Aceh satu kesatuan manajeman pegawai negeri sipil secara nasional. “Maka manajeman kepegawaian dalam Pemerintahan Aceh harus mengikuti manajemen kepegawaian nasional,” tulis Mendagri.
Kemudian dalam poin keenam surat itu menjelaskan bahwa pada 13 Maret 2017 Zaini Abdullah pernah mengajukan surat permohonan persetujuan dengan nomor 061/21/69 kepada Mendagri. “Namun sampai saat ini Mendagri belum memberikan izin tertulis terhadap permohonan dimaksud,” tulis Mendagri.
Karena itu, Mendagri menilai pelantikan berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh nomor PEG.821.22/004/2017 tanggal 10 Maret 2017 melanggar peraturan perundang-undangan. “Sehubungan dengan hal itu, diminta kepada saudara agar tidak menugaskan/mengaktifkan pejabat struktural yang dilantik berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor PEG.821.22/004/2017 untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan,” tulis Mendagri.
Tak hanya itu, Mendagri juga meminta Gubernur Aceh meninjau kembali keputusan mutasi tersebut dan menyesuaikannya dengan ketentuan perundang-undangan. Sepertinya, “gerilya” Abu Doto berakhir pahit di sisa jabatan.
Sementara itu, Gubernur Aceh yang dikonfirmasi Pikiran Merdeka melalui Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemerintah Aceh mengatakan belum bisa member penjelasan terkait surat itu. Menurutnya, Gubernur Zaini belum menerima salinan surat Mendagri tersebut.
“Malam ini belum bisa saya jelaskan bagaimana sikap Abu Doto, karena Abu belum terima surat tersebut,” terang Karo Humas Mulyadi Nurdi, Sabtu malam (25/3).
Lebih lanjut Mulyadi mengatakan pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu surat tersebut sebelum mengambil sikap. Begitupun kata dia, kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian SH juga belum melakukan telaan dan penejlasan kepada gubernur terkait surat tersebut.
“Kita belum lakukan kajian, nanti akan kita sampaikan setelah kami bertemu Gubernur,” pungkas Mulyadi.[]
Belum ada komentar