Pedagang pasar tradisional di Banda Aceh resah dengan kehadiran ritel modern. Pemerintah kini sedang menyusun regulasi untuk menertibkan.
Muslem kini sedang gundah. Penyebabnya, barang dagangan miliknya dan para pedagang lain di Pasar Nasabe, Peunayong, Banda Aceh, mulai kurang diminati pembeli. Sembari mengeluh, Muslem menuding faktor penyebabnya adalah kehadiran supermarket modern di Banda Aceh.
Ritel-ritel tersebut, kata Muslem, membuat harga jual barang menjadi tak seimbang. “Jadi kalau masyarakat menengah ke atas kan sudah lebih suka belanja ke supermarket. Harganya sudah dipaketkan jadi lebih murah dari harga di pasar,” ujar Ketua Pasar Nasabe ini kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Muslem mencontohkan sayur-mayur dan buah-buahan yang seharusnya menjadi produk jualan pedagang tradisional juga dipajang di ritel. “Supermarket tidak berhak untuk menjual sayur,” tegasnya.
Ia meminta pemerintah mengambil tindakan tegas terkait persoalan tersebut agar perekonomian pedagang di pasar-pasar tradisional kembali bergeliat. “Harapan kami masyarakat bisa berbelanja di pasar tradisional lagi,” ujarnya.
Salah satu ritel modern yang dimaksud Muslem adalah Indomaret. Jaringan ritel waralaba ini salah satu anak perusahaan Salim Group. Indomaret merupakan jaringan minimarket yang menyediakan kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari.
Toko pertama dibuka di Ancol, Jakarta Utara, pada 1988, dikelola oleh PT Indomarco Prismatama. Pada 1997 perusahaan yang memiliki motto “Mudah dan Hemat” ini mengembangkan pola kemitraan atau waralaba dengan membuka peluang bagi masyarakat untuk memiliki dan mengelola sendiri gerai Indomaret. Dari jumlah ini, 60 persen gerai milik sendiri dan sisanya waralaba.
Setelah eksis di Jabodetabek, Indomaret mulai merambah ke daerah-daerah lain seperti Jawa, Madura, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi hingga Aceh. Di Banda Aceh, berdasarkan data Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Kota, pada 2016 ada 23 gerai Indomaret. Jika mengacu pada keluhan Muslem, otomatis ritel-ritel Indomaret seperti “mengeroyok” keberadaan pasar-pasar tradisional. Bandingkan dengan jumlah pasar tradisional di Banda Aceh yang cuma 18. Dua di antaranya bahkan dikelola secara swadaya oleh masyarakat, yakni Pasar Neusu dan Pasar Ulee Kareng.
Izin Baru Distop
Tergerak oleh keinginan memberdayakan kembali pasar tradisional, pemerintah kota mulai sementara menyetop izin baru pembangunan gerai Indomaret di Banda Aceh. Adapun untuk para pemain bisnis ritel besar lain seperti Alfamart dan Seven Eleven memang belum diberikan izin sama sekali untuk mendirikan lapak.
Baca Peluang Bisnis : Budidaya Jernang Aceh, Menyambut Kebutuhan Pasar Dunia
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KP2TSP) Banda Aceh, Mukhlis mengatakan penghentian pemberian izin baru dilakukan karena sedang dikaji kembali apakah ritel modern masih dibutuhkan atau tidak. Yang juga dikaji, dampak dari adanya ritel-ritel tersebut terhadap perekonomian pasar tradisional. Jika kajian sudah dilakukan dan regulasinya rampung, kata Mukhlis, bisa saja izin diberikan lagi. “Saat ini sedang disiapkan regulasinya oleh Disperindag dalam bentuk Perwal (Peraturan Walikota) sesuai dengan pertumbuhan ekonomi di Banda Aceh dan kebutuhan masyarakat antara pasar modern dan pasar lokal. Jadi, pasar rakyat ini juga kan harus kita berdayakan kembali,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Dalam kajian tersebut, kata dia, dipertimbangkan soal jarak minimal dan rasio antara ritel modern dengan pasar tradisional, jumlah penduduk serta berbagai faktor lainnya. Hal ini sebenarnya jelas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pasal 4 menjelaskan, pendirian toko modern haruslah memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil dan usaha menengah yang ada dalam lingkungan tersebut.
Mukhlis menegaskan, KP2TSP hanya mengurus terkait masalah perizinan. Sementara terkait kajian dan regulasi, mereka hanya menunggu rekomendasi dari Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Banda Aceh. “Kalau memang pasar (modern) itu boleh atau tidak, kami hanya menunggu rekomendasi dari Disperindag atau dinas terkait,” ujarnya.
Hal tersebut dibenarkan Kepala Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Banda Aceh, Rizal Junaedi. Menurut Rizal, kini sedang berlaku moratorium izin pembangunan ritel modern seperti Indomaret dan gerai swalayan lainnya. “Sudah dua tahun kita tidak memberikan izin itu,” ujar Rizal, Jumat pekan lalu.
Ia mengakui kehadiran ritel seperti Indomaret memang berdampak terhadap perekonomian pasar lokal. Karena itu, diharapkan dengan adanya regulasi itu nanti bisa mengatasi persaingan yang kurang sehat antara ritel modern dan pasar tradisional. “Sekarang sedang kita persiapkan Perwal-nya untuk mengatur itu semua. Mungkin beberapa bulan ke depan sudah selesai,” tambah Rizal.
Sebelumnya, Kepala Kantor Perwakilan Daerah (KPD) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Abdul Hakim Pasaribu dalam suatu pertemuan dengan jajaran Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh menegaskan pemerintah daerah memiliki wewenang dalam melahirkan regulasi yang mampu mengontrol pertumbuhan ritel-ritel modern dan tidak berdampak buruk bagi pertumbuhan pasar rakyat. “Pemko punya wewenang tidak memberikan izin untuk operasional supermarket misalnya, KPPU juga sependapat. Setelah dikaji mungkin memang tidak memungkinkan untuk hadirnya supermarket, hypermart atau swalayan-swalayan karena tidak sesuai dengan jumlah populasi, karakteristik dan budaya. Itu sepenuhnya wewenang Pemko,” ujar Abdul Hakim seperti dilansir dari laman resmi Pemko Banda Aceh, Senin, 15 Agustus 2016.
Terkait pembentukan regulasi, Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh yang membidangi perekonomian, Sabri Badruddin berharap Pemko Banda Aceh segera menata mengajukan usulan dalam bentuk qanun kepada legislatif. “Jadi kita tidak boleh larang orang bangun Indomaret tanpa ada aturannya. Karena itu, harus dibuat qanun,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Dengan adanya regulasi spesifik yang terangkum dalam qanun itu nanti, kata Sabri, dapat mengatur permasalahan ritel modern dan pasar tradisional. Misalnya, terkait cakupan wilayah antara kedua pasar tersebut sehingga tak saling tumpang-tindih. “Segera dibuat aturannya. Sehingga pasar modern maju dan pasar tradisional tidak mati.”
BACA: Geliat Sang Penantang Lokal
Pro Kontra Ritel Modern
Kehadiran gerai ritel modern atau minimarket di berbagai daerah di Indonesia kini ditanggapi beragam. Pro kontra terkait hal ini tak terlepas dari dampak yang diakibatkan terhadap kondisi perekonomian pasar tradisional yang ada di sekitar lingkungan minimarket tersebut.
Miminarket seperti Indomaret dan Alfamart dinilai telah menggerus pendapatan pedagang di pasar tradisional. Salah satunya disampaikan Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri.
Menurutnya, hingga saat ini pasar tradisional dalam negeri belum dapat bersaing seimbang dengan ritel modern. Akibatnya, pendapatan kotor pedagang tradisional diklaim turun hingga 50 persen dalam dua tahun terakhir.
Ia menilai pemerintah belum melakukan pembenahan terhadap pasar tradisional serta tak adilnya aturan operasional antara keduanya.
Karena itu, ia meminta tiga poin kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu terkait jenis mata dagangan, waktu operasional buka, dan terakhir terkait zonasi atau pengaturan jarak antara pusat ritel modern dengan pasar tradisional.
“Pasar tradisional diambil alih oleh ritel-ritel modern bermodal besar. Padahal kita yang besarkan daerah. Pertumbuhannya ekonomi daerah diukur dari pasar tradisional,” ujarnya dikutip Viva, Selasa pekan lalu.
Ekspansi ritel modern ini juga kian meluas. Hingga 2015, tercatat ada 12.210 gerai yang dimiliki Indomaret di seluruh Indonesia dan berhasil mendapatkan laba bersih sebesar Rp758,5 miliar, sebagaimana tertulis dalam laporan tahunan mereka. Sementara Alfamart hanya memiliki 9.302 gerai dengan laba bersih Rp464 miliar.
Namun, tak semua kabupaten dan kota di Indonesia memberikan izin operasional minimarket. Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara misalnya yang harus membatasi izin mini market yang ingin beroperasi. Pemerintah Kota Tomohon, Sulawesi Utara juga menghentikan sementara penerbitan izin pembangunan minimarket.
Berbagai upaya ini salah satunya dilakukan untuk melindungi pendapatan pedagang kecil yang dinilai semakin terpinggirkan dengan kehadiran berbagai gerai ritel modern ini. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Banda Aceh saat ini.
Pante Pirak Tutup
Selain pasar tradisional, imbas kehadiran ritel modern seperti Indomaret dirasakan oleh pasar swalayan Pante Pirak. Ritel “legendaris” milik pengusaha asal Pidie, Abubakar Usman, yang berdiri sejak 46 tahun silam sekarang tinggal nama. Pantauan Pikiran Merdeka, Pante Pirak yang terletak di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh, kini namanya berganti menjadi Zipy-Zipy. Supermarket ini menjual beragam peralatan rumah tangga dan produk lainnya.
Pante Pirak didirikan Abubakar pada awal 1970. Berbekal modal seadanya, ia membuka usaha tradisional di kawasan Pasar Aceh. Kala itu produk-produk yang dijajakan Abubakar belum lengkap.
Seperti dikutip dari The Atjeh Times, bisnisnya mulai berkembang pesat memasuki tahun 1990-an. Bermodalkan kepercayaan bank dan rekan seprofesi, ia kemudian mendirikan gedung di kawasan Simpang Lima, tak jauh dari jembatan Pante Pirak. Nama jembatan itu ditabalkan sebagai nama swalayannya. Pante Pirak menjadi ritel modern pertama di Banda Aceh yang dimiliki putra daerah.
Imperium bisnisnya kemudian berkembang pesat. Ia mendirikan outlet-outlet baru Pante Pirak di sejumlah tempat. Nama Pante Pirak pula yang akhirnya melekat pada diri Abubakar sehingga ia kerap disapa Abu PP.
Saat tsunami 24 Desember 2004, infrastruktur usahanya yang dibangun puluhan tahun hancur. Kerugiannya puluhan miliar rupiah. Dari empat pasar swalayan miliknya, hanya satu yang tersisa.
Pengalaman bisnis puluhan tahun membuat Abubakar cepat bangkit. Ia mendirikan lagi 25 lapak baru Pante Pirak. Sebagian besar berada di Banda Aceh.
Namun, Pante Pirak kini sepertinya“menyerah”dengan kehadiran para pemain ritel besar seperti Indomaret. Tidak jelas juga kenapa swalayan yang bermotto‘Dekat dan Murah’tersebut hilang jejak. Saat dikonfirmasi Jumat pekan lalu, Pak Abu PP menolak berkomentar lebih banyak. “Ngapain bicara bisnis lagi, udah nggak usah lagilah,” ujarnya singkat sembari mematikan telepon tiba-tiba.[]
Belum ada komentar