Keuchik Mukhlis menghembuskan nafas terakhir setelah dua peluru polisi bersarang di tubuhnya. Sangkaan bandar sabu dan penembakannya dipersoalkan YARA.
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) kembali mempersoalakan penembakan yang menimpa Mukhlis Hadi (45 tahun), Keuchik Blang Rambong Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, 24 Februari lalu. Ia diduga sebagai bandar narkotika jenis sabu-sabu, yang ditangkap bersamaan dengan dua orang lainnya, Sulaiman (47) dan Ismail (27), di lokasi berbeda.
Subdit II Dit Renarkoba Polda Aceh yang dipimpin Perwira Dit Narkoba berhasil membekuk Sulaiman dan Ismail. Sedang Mukhlis tertembak di bagian bahu dan paha, karena dianggap berusaha melarikan diri saat ditangkap. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
“Dalam operasi ini, petugas berhasil menyita 1 bungkus sabu-sabu seberat 100 gram di rumah tersangka usai penangkapan tersebut,” terang pihak Polda.
Namun keterangan ini berbeda dengan kesaksian sejumlah warga yang dihimpun YARA Aceh Timur. “Karena kita merasa janggal, ingin tahu proses penembakannya itu seperti apa sebenarnya? Makanya turun ke lokasi kejadian,” sebut Direktur YARA Safaruddin SH kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
“Yang disampaikan itu, seolah-olah dia melawan. Dia kan tidak punya senjata, kenapa ditembak sampai mati?” sambungnya.
Safar menjelaskan, gerak-gerik Mukhis saat digrebek di warung kopi waktu itu, belum bisa disebut sebagai upaya melarikan diri. “Dia ditelepon, lalu diajak minum kopi oleh orang yang meneleponnya. Kemudian datang orang lain yang tiba-tiba menodong, kan dia bingung. Karena dia keuchik, tentu merasa ada yang tak beres. Terus menghindar pelan-pelan, lalu tiba-tiba yang duduk minum kopi ikut menodong. Wajar kan jika ada gerakan menghindar. Lantas kenapa gara-gara itu ditembak di badan,” ucap Safar.
Terus terang, lanjut dia, pihaknya sangat menyayangkan cara polisi yang cenderung gegabah dalam bertindak. Banyak hal yang meragukan dan ingin ia telusuri. “Seperti sebutan dia bandar, dan lain-lain. Kita ingin bukti konkret. Jangan hanya informasi saja. Perlu bukti konkret yang menunjukkan itu. Bicara hukum, kan bicara bukti. Kalau orang kampung bilang, dia bukan bandar, ya juga tidak ada bukti. Mereka cuma tahu berdasarkan apa yang mereka lihat. Kita ingin tahu sejauh mana investigasi yang dilakukan kepolisian hingga menetapkan dia itu bandar,” tambahnya.
Masih tentang barang bukti, lanjut Safar, harus ada kejelasan di mana polisi mendapatkannya. Jika bukan langsung dari pelaku, ia khawatir barang bukti itu jebakan.
“Kalau memang dikatakan polisi barang bukti ada pada pelaku, itu apa diambil dari pelaku saat itu? Apakah diambil dari dia? Kalau bukan diambil dari dia, kan bisa saja dijebak, ini harus jelas,” sambungnya.
Baca : Lirih Pilu Muslina Menjemput Malam Seunojoh
Sejauh penelusuran YARA, kata Safar, tidak ada barang bukti yang langsung didapat polisi dari tangan Mukhlis.
Dalam kesempatan berbeda, Humas Polda Aceh, Kombes Pol Goenawan meyakini tindakan yang diambil polisi saat bertugas di lapangan sudah sesuai dengan prosedur dan ketetapan yang berlaku.
“Yang diduga tersangka ini telah diselidiki selama dua bulan. Jadi tidak ujug-ujug saat itu juga kita grebek. Tidak seperti itu, ada informasi dugaan kuat bahwa yang bersangkutan ini terlibat dalam jaringan, bandar. Barang buktinya sudah ada padanya dan pada temannya yang dua orang itu. Sehingga polisi menggrebek, melakukan penangkapan,” kata Goenawan Kamis, pekan lalu.
Dia menegaskan, penembakan terjadi ketika pelaku yang akan diringkus melarikan diri. “Tentunya pelaku tidak perlu melarikan diri jika memang ia tak bersalah. Ini malah melarikan diri, kalau bukan pelaku ya kenapa harus lari,” lanjut Goenawan.
Setiap tindakan yang dijalankan polisi saat berada di lapangan, kata Gunawan, sudah memenuhi standar profesionalisme. “Sudah prosedural, humanis, segala tindakan yang dilakukan itu terukur,” katanya.
Mengenai aduan dari pihak keluarga Mukhlis yang tidak terima dengan tindakan polisi, Goenawan mempersilahkannya. “Ya silahkan, memang Undang-Undang telah mengatur itu boleh, kok. Mengajukan ke Komnas HAM, ke Propam, Inspektur Pengawasan, menggugat ke mana, itu dipersilahkan,” ucapnya. “Pembuktian apakah langkah-langkah polisi sudah sesuai atau tidak, hal itu akan diuji di pengadilan.”
Di sisi lain, Goenawan juga menyesalkan ada pihak yang menebar berita provokatif. “Artinya, jangan didramatisir. ‘Oh karena dia orang miskin, maka mudah ditindak’ seperti itu, tidak. Kita tidak melihat dari aspek itu. Ini hasi pengintaian selama dua bulan. Hanya saja berita tersebar, cenderung mengadu domba, bilang tidak ada barang bukti, dan sebagainya,” imbuh Goenawan.
KEKERASAN DI LAPANGAN
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Mukhlis Hadi. Amatannya, kekerasan yang dilakukan polisi saat menindak terduga pelaku kriminal memang sering terjadi.
Baca : Menyingkap Tabir Kematian Murtalamuddin
“Sering saya dapat laporan bahwa itu pada polisi yang rata-rata masih berusia muda. Masih sering mengedepankan sisi emosionalnya saat melakukan penindakan, bukan profesionalitasnya,” kata Nasir saat dihubungi Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
“Dalam hal apapun, entah itu menangkap teroris, atau menangkap pelaku narkoba, selama dia tidak melakukan perlawanan, selama dia tidak bersenjata, tidak membahayakan, tetap harus ditindak dengan melakukan pendekatan yang humanis. Bukan malah main pukul,” tegas politisi Fraksi PKS ini.
Sebagai anggota parlemen yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan, Nasir terus melakukan koordinasi dengan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) selaku mitra kerja pihaknya. Berbagai langkah sinergi terus diupayakan untuk mencegah peredaran narkoba yang semakin marak dalam beberapa tahun terakhir.
“Termasuk dalam urusan penindakan, dalam hal ini kepolisian. Kita ingin lebih mengedepankan kekuatan intelijen, bagaimana caranya bisa melumpuhkan tanpa melukai,” imbuhnya.
Tanggapan serupa disampaikan Direktur YARA, Safaruddin. Menurutnya, penindakan dalam kasus narkoba terbanyak pelanggarannya dibandingkan jenis kriminal lainnya.
“Kasus yang kami tangani di Nagan Raya, misalnya. Itu pelaku dihajar sampai babak belur. Kita laporkan ke polisi. Terus ada dapat SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) Di situ tidak ada saksi yang melihat, kan aneh sekali. Yang seperti ini sering kita temukan,” terang Safar.
Safaruddin sangat setuju dengan upaya kepolisian dalam memberantas narkoba di Aceh. Hanya saja, proses penindakan di lapangan harus sesuai dengan hak asasi manusia dan peraturan yang berlaku.
“Kita sepakat, bahwa kita sangat anti pada narkoba. Tapi dalam penegakan hukum itu kita sama-sama mengerti aturannya. Jangan ada kekerasan, jangan ada main jebak-menjebak,” tambahnya.
KASUS MURTALAMUDIN
Jika menilik jejak kekerasan yang dilakukan oknum polisi, publik tentu belum lupa dengan kasus yang menimpa Murtalamuddin pada Oktober tahun lalu. Warga Kecamatan Baktia, Aceh Utara ini ditemukan telah jadi mayat di dekat jembatan Arakundo, Aceh Timur, beberapa hari setelah ditangkap anggota Polres setempat.
Saat itu, pihak Kapolres Aceh Timur mengkonfirmasi bahwa Murtala melarikan diri dengan melompat ke sungai Arakundo. Namun, dari hasil penelusuran YARA, ada sejumlah kejanggalan. Salah satunya bukti kuat bahwa Murtala terlebih dahulu dibawa ke RSU Zubir Mahmud sebelum ditemukan tewas di bawah jembatan.
“Malah ada yang melihat Murtala telah meninggal di rumah sakit akibat penyiksaan,” ungkit Safar. Kasus ini akhirnya dilaporkan YARA ke Polda Aceh.
Buntutnya, Kasatnarkoba Polres Aceh Timur saat itu, AKP Darkasyi dicopot dari jabatannya. Belakangan YARA menerima informasi bahwa kasus ini telah sampai tahap penyidikan ke Kejaksaan Tinggi Aceh. “Ada sekitar 14 orang saksi yang telah diperiksa, dan telah ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (3) KUHPidana,” jelas Safar.
Kasus Murtalamuddin menjadi cerminan bagi YARA untuk terus memantau kinerja kepolisian, termasuk ketika menemukan kasus Keuchik Mukhlis. “Ini seperti kasus Murtalamuddin, apa keterangan polisi pada awalnya? Tapi kita yang mengungkapnya. Maksud saya, harusnya cek dulu. Jangan apa yang disampaikan diterima langsung. Waktu Murtalamudin meninggal saja, katanya melarikan diri, lalu ditemukan jadi mayat, dan macam-macamlah. Setelah kita identifikasi, rupanya dia terbunuh saat pemeriksaan di kantor polisi. Dari sini kita lihat baik-baik,” katanya.
Safaruddin berharap, kinerja kepolisian perlu pembenahan. Jangan sampai kasus kekerasan seperti ini terjadi lagi. “Setelah Murtalamudin, mau berapa banyak lagi yang mengalami, terserah soal dia salah apa tidak, tapi ini yang sudah jatuh korban bagaimana ini nanti? Maka kita harap, cobalah kedepankan cara-cara yang lebih profesional,” katanya.
Nasir Djamil mengutarakan harapan yang sama. Ia ingin kepolisian itu memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat, siapapun. Pimpinan di setiap jajaran, tambahnya, harus mengawasi dengan ketat. “Harus selalu ada evaluasi, saya pikir setiap jajaran pimpinan dari atas sampai bawah harus mampu bertanggung jawab penuh atas tindakan yang dilakukan anak buahnya,” harap Nasir.
Kepada masyarakat, ia menghimbau, jika merasa ada penindakan polisi yang tidak sesuai dengan kerangka Hak Asasi Manusia, segera laporkan ke Propam. Karena Propam itu satu bagian yang berfungsi memberikan rekomendasi dan sanksi jika terdapat pelanggaran. Untuk mendorong hal ini, maka diperlukan kesadaran terhadap hukum, seperti disampaikan Safaruddin.
“Masyarakat perlu sadar dan taat hukum, tidak melakukan hal hal yang melanggar hukum. Sadar akan hak-haknya dalam hukum, seperti tidak boleh dikriminalisasi, tidak boleh dipukul, tidak boleh mendapatkan kekerasan, walaupun dia bersalah. Karena jika sadar, mereka akan tahu akan mengadu ke mana, dalam artian berani mempertahankan hak-haknya,” tandasnya.[]
Belum ada komentar