Asa Kaum Disabilitas Banda Aceh

Asa Kaum Disabilitas Banda Aceh (Foto Ist)
Asa Kaum Disabilitas Banda Aceh (Foto Ist)

Para penyandang disabilitas berharap memperoleh kesempatan kerja seperti orang kebanyakan. Sebagian besar mereka menolak jadi pengemis. 

Husaini tak pernah menyangka kecelakaan yang menimpanya awal 2007 lalu mengubah jalan hidupnya. Saat itu, pria berusia 53 tahun ini berprofesi sebagai distributor batu bata dari Banda Aceh ke Medan. Batu bata dibawa oleh rekannya dengan mobil bak terbuka, sedangkan Husaini mengikuti dari belakang mengendarai sepeda motor.

Di kawasan Bukit Arjuna, Sumatera Utara, pada jalan tanjakan, rem mobil blong. Mobil pun hilang kendali, mundur dan menabrak Husaini di belakang hingga terjatuh ke jurang. Kaki kanannya hancur hingga nyaris ke pangkal paha akibat terjepit pintu mobil. Tangan kanannya juga patah.

Akibat kejadian tersebut, ia dirawat selama sebulan lebih di rumah sakit. Semula di rumah sakit di Pangkalan Brandan. Karena tak ada alat untuk operasi, pria asal Aceh Tamiang itu kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Adam Malik, Medan.

Tiga minggu pertama, kakinya tak dioperasi, hanya dibalut perban. Ketika itu, Husaini sempat berontak karena dokter hanya menyarankan agar kakinya diamputasi. “Sempat ngamuk-ngamuk juga saya sama dokter, dikit-dikit minta potong. Nggak ada solusi lain,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.

Namun, karena tak ada kemajuan berarti dan tak sanggup menahan sakit yang diderita, akhirnya ia pasrah. Setelah dibius, kakinya pun diamputasi. Husaini harus merelakan kenyataan bahwa sejak saat itu ia hanya bisa mengandalkan kaki kiri saja. “Sampai dua jam saya tidak sadar. Tahu-tahu kaki saya sudah putus. Ya, sempat mengeluarkan air mata juga. Tapi ini kan memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa,” ujarnya.

Ia menuturkan penderitaan itu bukan yang pertama kali dirasakannya. Sewaktu gempa bumi dan tsunami melanda Aceh akhir 2004, ia kehilangan istri dan lima anak di rumahnya di Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Setelah kehidupannya berangsur pulih pascatsunami, ia menikahi perempuan lain dan dikaruniai seorang anak lelaki. Rupanya tragedi itu bukan akhir dari kenestapaannya. Hingga kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa itu menjelma menjadi duka keduanya.

Setelah pulih dari operasi amputasi kaki, kehidupannya kembali berantakan. Sang istri kabur dari rumah. Husaini menilai penyebabnya adalah kondisi fisiknya tak lagi sempurna. Sementara anaknya ditinggalkan bersama Husaini.

“Nggak ngerti juga kita. Mungkin sama saya nggak ada duit lagi. Jadi mungkin dia udah nggak sanggup lihat saya kan,” ujarnya.

Baca: Minimnya Akses Kerja Kaum Disabilitas

Husaini mencoba mencari sumber penghidupan baru. Bisnis batu bata terpaksa ditinggalkan. Di tengah rasa frustasi karena finansial tak karuan, ia terpaksa meminta sumbangan ke kantor-kantor pemerintahan. “Saya minta ke anggota dewan dan kenalan-kenalan, demi yang sejengkal ini,” tuturnya sembari menunjuk perut.

Ia menjalani aktivitas seperti itu selama lebih kurang enam tahun. Kadang dapat, kadang tidak. Pernah juga ia melanglang ke Simeulue, Aceh Selatan hingga Aceh Singkil, meminta sumbangan ke kantor pemerintahan.

Akhirnya, pada 2013 ia meminta kepada Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh agar diberikan pekerjaan sebagai juru parkir di depan warung nasi kawasan Jeulingke, Banda Aceh. Ia bekerja sejak pukul 11.00 hingga 17.30 WIB. Saban hari, ia harus membayar pungutan Rp25 ribu kepada Dinas Perhubungan Banda Aceh.

Husaini mengaku, perubahan yang dialaminya saat ini sangat sulit dihadapi. Kondisi ekonominya tak pernah bisa kembali lagi seperti dulu. Ia juga tak punya opsi pekerjaan lain. Peluang mencari pekerjaan lain nyaris mustahil karena kondisi fisiknya yang tak lagi mendukung.

“Yang paling terasa kali ya faktor ekonomi kita. Jadi rasanya kalau kita minta-minta, saya merasa malu. Kalau pun minta, sama orang yang kenal saya berani, kalau sama yang lain malu.”

Ia menyayangkan Pemerintah Banda Aceh yang tak pernah memperhatikan nasib orang-orang seperti dirinya. Kalau pun ada, hanya berupa bantuan uang. Itu pun hanya sekali diterimanya. “Paling yang ada program-program, seperti pemberian kaki palsu. Saya ada dikasih satu, tapi nggak bisa saya pakai karena terasa sakit,” keluhnya.

Karena itu, ia berharap pemerintah memberikan lebih banyak perhatian kepada para penyandang disabilitas seperti dirinya. Terutama, kesempatan mengakses lapangan kerja.

Hal senada disampaikan Muhammad, 30 tahun. Menurut pria berkursi roda ini, di dalam masyarakat masih melekat stigma bahwa penyandang disabilitas tak bisa bekerja layaknya orang lain karena sudah “tidak normal lagi”.

Karena hal itu pula, pria yang berprofesi sebagai pengelola kursi roda di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh, ini kerap mendengar kabar kurang sedap dari orang-orang di sekelilingnya yang ingin menjegalnya dari pekerjaan tersebut. Menurut Muhammad, hal itu dipicu salah satunya karena kondisi fisiknya. “Yang heran saya, kenapa di belakang saya, mereka berani berkata yang tidak-tidak, tapi di hadapan saya tidak berani,” ujarnya.

Muhammad juga mengalami kecelakaan di Medan pada 2007. Sebagian otot motoriknya kini lumpuh. Sempat kritis selama setahun dalam perawatan di RSUDZA, ia kemudian menggunakan kursi roda. Muhammad menyadari saat itu banyak orang yang membantu dirinya selama proses penyembuhan.

Maka pada September 2009, ia bertekad membantu orang lain dengan cara menawarkan diri kepada manajemen rumah sakit untuk bekerja sebagai penjaga kursi roda demi membantu masyarakat yang berobat. “Mereka dari jauh datang ke sini untuk berobat, kadang harus jual kambing, lembu, dan barang lainnya untuk membayar biaya pengobatan, jadi sayang kita,” kata Muhammad.

Ia mengatakan tujuannya selain membantu para pasien, juga memberikan semangat untuk mereka, terutama para pasien penyandang disabilitas. “Jangan pernah putus asa. Sesusah-susahnya hidup kita, masih ada orang lain yang lebih susah,” ujarnya.

Terkait hak-hak penyandang disabilitas, ia berpesan agar pemerintah memberikan lebih banyak bimbingan dan pembinaan. Terutama dalam pemberdayaan dan dibukanya akses dan lapangan kerja bagi mereka. “Yang saya inginkan, orang disabilitas itu mendapatkan haknya. Mereka punya hak, tuntutan, dan wewenang. Walau bagaimana pun mereka, kalau sudah mendapatkan pekerjaan itu alhamdulillah sekali. Karena itu pemerintah harus memberikan jalan keluar bagi mereka,” ungkapnya.

Ia menambahkan, selama ini masyarakat selalu melihat penyandang disabilitas identik dengan peminta-minta. Ia ingin masyarakat mengubah anggapan ini karena para penyandang disabilitas juga bisa bekerja layaknya orang lain.

Kini, Muhammad sedang berjuang mendapatkan ijazah sekolah menengah atasnya. Sebelumnya, ia hanya memiliki ijazah sekolah dasar. “Sementara ini saya perjuangkan bagaimana ijazah SMA saya keluar. Walau bagaimana pun saya cari jalan keluarnya, karena ini demi masa depan saya.”

Sebagaimana Muhammad, Husaini kini juga hanya memikirkan masa depan. Khususnya masa depan anaknya yang kini dititipkan kepada ibunya di Aceh Tamiang. Setiap bulan, ia mengirimkan uang untuk kebutuhan anaknya. “Itu untuk biaya sekolah anak, selesaikan sekolah dulu. Ya, walaupun nggak sampai kuliah, sambil-sambil kerja di Tamiang nanti, ya, saya usahakan,” harapnya.

Baik Husaini maupun Muhammad sepakat, berbagai rintangan yang mereka hadapi tak lantas membuat mereka surut dan berputus asa. Justru hal itu menjadi pelecut agar berusaha lebih keras di tengah sempitnya akses lapangan kerja bagi orang-orang seperti mereka.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait