Gugatan Walhi Aceh mental di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hanya dua alat bukti yang dipakai hakim untuk gugurkan gugatan atas izin lingkungan pendirian pabrik semen.
Ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh di Jalan Mohd Taher, Luengbata, hanya dipenuhi belasan pengunjung, Rabu pekan lalu. Berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya, sidang kali ini agak sepi. Padahal, ini sidang pamungkas dari perkara gugatan Walhi Aceh terhadap izin lingkungan kegiatan pabrik semen PT Tripa Semen Aceh (TSA) di Aceh Tamiang. Izin tersebut dikeluarkan Bupati Hamdan Sati. Hamdan kini mencalonkan diri lagi sebagai bupati dalam Pilkada Aceh Tamiang.
Dari Walhi Aceh sebagai penggugat hadir Muhammad Nur. Direktur Walhi Aceh ini didampingi Kepala Divisi Riset dan Kebijakan Walhi Aceh, Solihin dan kuasa hukum Muhammad Zuhri Hasibuan.
Sementara dari tergugat satu, Hamdan Sati, diwakili kuasa hukum Pemerintah Aceh Tamiang, Rahmad Safrial dan Harapan Tua. Lalu, PT TSA sebagai tergugat dua intervensi diwakili dua kuasa hukumnya.
Setelah membaca semua pertimbangan hukum, majelis hakim dalam amarnya menyatakan menerima eksepsi tergugat untuk seluruhnya. Hakim juga menolak seluruh gugatan Walhi Aceh terhadap Bupati Aceh Tamiang dan PT TSA.
Selepas sidang, raut muka M Nur agak kecewa. “Saya kira, ini contoh buruk hukum pengadilan di Indonesia, tidak objektifnya hakim dalam memutuskan perkara. Tapi, apapun keputusannya kan tetap dihormati,” ujarnya.
Di dalam putusannya, hakim hanya memakai dua dari puluhan alat bukti yang diajukan Walhi. Alat bukti yang menjadi pertimbangan hakim berupa surat tentang diskusi publik dan hal administratif. Padahal, kata M Nur, Walhi juga menghadirkan saksi-saksi. Namun, keterangan para saksi tak disebutkan dalam pertimbangan hukum oleh majelis hakim.
Sebelum sidang putusan digelar, Pikiran Merdeka mewawancarai M Nur lewat telepon selular pada Kamis, 12 Januari 2017. Secara keseluruhan, kata dia, untuk gugatan itu Walhi mengumpulkan sekitar 39 alat bukti.
Saksi yang dihadirkan Walhi diakui M Nur sangat kompeten. “Yang dihadirkan Walhi itu masyarakat Kaloy, kok. Jadi kalau dibilang masyarakat tidak turun ke lapangan, orang lapangan gimana cara pergi ke lapangan lagi,” ujarnya.
Soal kompeten atau tidak, M Nur menilai ada tiga klasifikasi ahli. “Pertama, kompeten secara akademis. Pendidikannya bagian karst, sehingga bisa dikatakan ahli. Kedua, keahlian karena keterlibatan dalam diskusi-diskusi soal karst. Ketiga, karena mau mengembangkan ilmunya, bukan karena seminar, intelektual atau akademik,” ujarnya.
Baca: Cokong Semen Masuk, Alam Karst Tamiang Terancam
Sebelum gugatan dilayangkan, Walhi mengadakan serangkaian diskusi dengan perwakilan masyarakat Tamiang Hulu dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Gugatan yang mereka layangkan, kata M Nur, karena izin lingkungan kepada Tripa Semen Aceh bertentangan dengan aspek prosedural, substansi, dan azas-azas. “Salah satu substansi yang menjadi dasar gugatan Walhi karena areal pertambangan PT TSA berada dalam bentang alam karst,” ujarnya.
Izin untuk PT TSA juga berbenturan dengan Undang Undang Pemerintahan Aceh. Pasal 150 ayat dua UUPA menyebutkan, pemerintah dilarang mengeluarkan izin penguasaan hutan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser atau KEL. Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT TSA berada di dalam KEL.
Celakanya, Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tidak menyebutkan nomenklatur dan pengaturan KEL. Walhi Aceh sempat mengajukan uji materiil qanun tersebut ke Mahkamah Agung pada 2014. Namun, mahkamah menolak permohonan tersebut.
Selain itu, Walhi melihat penerimaan tenaga kerja untuk konstruksi dan produksi pabrik semen, berpotensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. “Berdasarkan data terkait sumber daya manusia yang tersedia, warga Kaloy dapat diterima sebagai buruh. Diindikasikan akan terjadi perekrutan tenaga kerja ke wilayah kampung lain di sekitarnya. Hal ini akan menimbulkan konflik sosial antardesa,” ujar M Nur.
Terkait karst Kaloy yang belum ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst seperti penjabaran dari Permen ESDM, Walhi juga melampirkan hal itu sebagai bukti gugatan. M Nur menilai penetapan itu sebuah hal penting. “Tapi karena itu belum ditetapkan, kami kembalikan kepada pemerintah. Artinya dalam masalah hukum itu dicari celah, itu nggak ada, maka mereka menang, nggak apa-apa,” ujar M Nur.
Jika pun belum ada penetapan, kata dia, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal telah menyebutkan adanya kawasan karst. “Sudah cukup. Kuat atau tidak penyebutan itu, terserah, ada peran hakim. Tapi, kami sampaikan ke publik, itu kawasan karst,” ujarnya.
Sebelumnya, selain Walhi Aceh, gugatan juga datang dari tiga warga Kaloy: Ngatino, Sutiadi dan Menen. Ketiganya menilai dokumen Amdal Tripa Semen Aceh tidak mengungkapkan fakta sebenarnya. Gugatan class action ini didaftarkan ke PTUN Banda Aceh awal Agustus 2016. Saat menggugat, ketiganya didampingi lima kuasa hukum dari Public Interest Lawyer Network di Jakarta.
Salah satu penggugat, Sutiadi, khawatir pembangunan pabrik semen di kawasan itu dapat mengundang bencana saat angin kencang. “Perbukitan Karang Putih yang akan dijadikan lokasi tambang itu bagi masyarakat di Dusun Kaloy merupakan benteng dari angin yang bisa menerpa ke pemukiman penduduk tempat saya tinggal,” ujarnya.
Tim kuasa hukum saat itu mengatakan dua surat hasil kajian teknis yang diterbitkan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Aceh Tamiang untuk kesesuaian lahan rencana kegiatan industri semen, tak mencantumkan keberadaan kawasan cagar alam geologi. “Adanya kawasan karst di wilayah itu diperkuat dengan laporan-laporan hasil kegiatan ekspedisi LSM KEMPRa dan ISS tentang inventarisir bentukan karst dan sebarannya,” ujar Riesqi Rahmadiansyah, salah seorang kuasa hukum penggugat, Ahad, 7 Agustus 2016. Namun, belum lagi proses sidang tuntas, tiga warga tersebut mencabut gugatan tanpa alasan jelas.
Baca: Cerita Amdal Buruk Rupa
Kuasa Hukum Pemerintah Aceh Tamiang, Rahmad Safrial, senang atas putusan hakim yang menolak gugatan Walhi. “Ya, bahagia, karena memang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan putusan ini memang sudah kita yakini dari awal,” ujarnya usai sidang, Rabu pekan lalu.
Diakui Rahmad, kliennya cukup hati-hati untuk mengeluarkan izin lingkungan. “Karena memang ini baru, izin lingkungan yang pertama di Aceh Tamiang, tentu Pemkab menjaga prinsip asas-asas pemerintahan yang baik,” ujarnya. Rahmad yakin prosedur izin lingkungan yang dikeluarkan telah tepat.
Selanjutnya, kata dia, setelah izin lingkungan akan disusul oleh izin lainnya untuk memuluskan operasional PT TSA. “Tetapi izin prinsip, izin dasarnya sudah dikeluarkan,” ujarnya. Namun, Rahmad dan tim kuasa hukum Pemerintah Aceh Tamiang kini juga menunggu sikap dari penggugat. “Kalau memang penggugat (Walhi) merasa keberatan dengan amar putusan yang dibacakan majelis hakim, kami pada prinsipnya menunggu,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan kuasa hukum Tripa Semen Aceh Chairul Azmi. “Kita saat ini menunggu apakah Walhi sebagai penggugat akan mengajukan upaya hukum atau tidak,” ujar Chairul saat dikonfirmas, Jumat pekan lalu. Kliennya, kata Chairul, tetap menghormati apapun upaya yang akan ditempuh Walhi. “Karena itu hak bagi mereka kan. Gitu aja. Untuk saat ini masih menunggulah apakah mereka akan mengajukan upaya hukum banding atau tidak,” ujarnya.
Sementara, Walhi seperti dikatakan M Nur, telah menyiapkan langkah selanjutnya. “Intinya kita banding. Kekalahan ini bukan yang pertama dialami Walhi,” ujar M Nur. Ia mencontohkan gugatan terhadap PT Kalista Alam yang kalah di tingkat pertama tapi kemudian menang saat Walhi melakukan banding.
Menurut M Nur, persoalan menggugat itu bukan karena Walhi alergi terhadap bisnis orang lain. “Kalau soal bisnis, kita paham secara kebutuhan. Tapi, jangan di wilayah penyimpan air seperti itu, cari lokasi lain. Bagaimana pun, Walhi akan tetap melawan.”[]
Belum ada komentar