Demam Berdarah Dengeu (DBD) masih menjadi ancaman bagi warga Banda Aceh. Kondisi cuaca yang fluktuatif meningkatkan kecendrungan masyarakat terserang DBD.
Semula Heri tidak menyangka meriang yang dirasakannya bakal berdampak panjang. Ia masih beraktifitas seperti biasa. Untuk meredakan demam, ia membeli obat sekedarnya di apotek, yakni dengan mengkonsumsi flutamol.
Obat dosis tunggal untuk mengatasi gejala demam, batuk, sakit kepala dan bersin ini ternyata tak cukup mempan untuk meredakan sakitnya. Alih-alih dapat mengatasi demam yang dideranya, sekujur badan Heri malah bertambah lemas.
“Makan pun sudah tak berselera, karena tidak ada rasa apa-apa di lidah,” ujar Heri, saat ditemui Pikiran Merdeka, Jumat lalu. Ia mengeluhkan seluruh sendinya melemah, tak sanggup bergerak banyak.
Laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta ini mengaku mulai merasa tak enak badan sejak beberapa hari lalu saat menginap di rumah salah satu familinya. Ia dititip pesan untuk menjaga rumah itu, sejak pemilik rumah harus dirawat inap di rumah sakit lantaran dibekap penyakit demam berdarah.
Padahal, menurut Heri, lingkungan di sekitar rumah yang ia tempati itu cukup bersih dan teratur. Tempat pembuangan sampah tersedia, tidak ada wadah penampungan air yang terbengkalai di luar dekat rumahnya—tempat tumbuh suburnya jentik nyamuk Aedes Aegypti, pembawa virus dengue yang menyebabkan demam berdarah.
“Sepertinya memang karena kondisi di dalam rumah, karena sebelumnya penghuni rumah sudah kena DBD,” katanya. Memang, keadaan di rumah sejak ditinggal sementara pemiliknya ini, agak berantakan. Jarang dirapikan.
“Beberapa hari menginap di rumah si abang (saudaranya), rupanya saya juga ikut kena,” kata Heri.
Beberapa hari demamnya semakin memprihatinkan, keluarga pun mengantar Heri ke Intalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Meuraxa Banda Aceh. Dari hasil diagnosa dokter, ternyata ia mengidap demam berdarah.
Saat ditemui Pikiran Merdeka, Heri sudah tiga hari Heri dirawat di ruang Arafah rumah tersebut. Beberapa anggota keluarga menemaninya di sana. Tangan Heri masih ditusuk jarum infus, namun keadaannya berangsur membaik. Hanya saja belum sepenuhnya stabil. Sesekali ia hanya bisa duduk jika sudah bosan terlentang seharian di atas pembaringan.
Heri tentunya tidak sendiri. Ada sejumlah pasien lain penderita DBD yang dirawat di RS Meuraxa. Jumlahnya memang melonjak tajam dalam dua bulan terakhir.
“Sejak kamis (19-01) malam saja ada lebih dari 10 orang pasien DBD yang masuk,” ujar dokter muda RS Meuraxa, Puteri Paralita saat dikonfirmasi Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Ia membenarkan curah hujan yang tinggi belakangan ini menjadi penyebab meningkatnya kasus DBD. Dari pengalamannya selama beberapa minggu terakhir, terlihat gejala yang beragam dari penderita DBD.
“Bahkan ada yang telat dibawa kemari, pasiennya sudah mengalami shock (tensinya rendah, nadinya meningkat), di mana pasien suhu tubuhnya sudah dingin, butuh penanganan ekstra untuk mengembalikan trombositnya ke normal,” sambungnya.
Heri berharap dokter yang memeriksa dirinya akan bisa memastikan trombosit-nya segera normal kembali, sehingga ia segera pulang dan beraktifitas seperti biasanya.
“Masalahnya, kadang-kadang kondisi saya sudah terasa segar, tapi tiba-tiba agak drop lagi, tidak menentu,” tambah pria berusia 23 tahun ini. “Ini belum tahu kapan boleh pulang, dokter bilang kondisi saya belum stabil.”
Selain itu, Heri berharap pihak Puskesmas atau Dinas Kesehatan lebih rutin melakukan sosialisasi ke warga gampong mengenai upaya mengantisipasi DBD di lingkungan masyarakat. Ia juga mengaku lingkungan tempat tinggalnya itu belum dilakukan fogging (pengasapan) oleh Dinas Kesehatan Banda Aceh.
“Saya tidak tahu gejalanya seperti apa, selama ini saya lihat pihak Puskesmas juga jarang sosialisasi. Walaupun begitu, sejak dulu saya sudah pernah dengar perlunya gerakan 3M,” keluhnya.[]
Belum ada komentar