Dua kubu KNPI Aceh saling unjuk gigi. Siapa yang sah sebenarnya?
Police Line menyegel bagian muka Sekretariat KNPI Aceh di Jalan T Hasan Dek, 166, Jambo Tape, Banda Aceh, Selasa (03/01/17). Satu unit mobil operasional juga dipasangi pita kuning.
Jamaluddin, Ketua DPD I KNPI Aceh, bersama sejumlah jajarannya ‘ngantor’ di sebuah warung kopi, beberapa kilometer di utara Kantor KNPI Aceh. Pihaknya memilih damai ketika mendapati kantor lembaga yang dipimpinnya diserobot kubu DPP KNPI Aceh, pada Jumat akhir 2016.
Aksi itu dianggap mereka tak terlepas dari ‘bantuan Pusat’ yang memanfaatkan sekelompok pemuda. Padahal, Aceh sedang menikmati masa damai pascaperjanjian MoU Helsinki tahun 2005 dan harus dirawat.
Sebab itulah, tanpa perlawanan ketika DPP KNPI Aceh merebut paksa Sekretariat KNPI Aceh. “Siapapun yang memancing keributan, dialah pengkhianat perdamaian Aceh,” ujar Jamaluddin kepada Pikiran Merdeka, Selasa (03/01/17).
Ketua KNPI Aceh periode 2013–2016 itu menyatakan, pihaknya lantas melaporkan kasus tersebut ke Polresta Banda Aceh. Kubu DPP KNPI Aceh dinilai merampas aset milik KNPI Aceh. “Kalau muda-muda sudah melanggar hukum, bagaimana jika sudah tua nanti?” ucapnya.
Sebagai negara hukum, diharapnya aksi perebutan dan perusakan Kantor KNPI Aceh oleh DPP KNPI Aceh cepat diproses. “Kita menginginkan polisi bekerja profesional dan proporsional. Kita menunggu penyelesaian oleh penegak hukum,” tuturnya saat ditemui di warung kopi itu.
Pria akrab disapa Jamal itu menegaskan, KNPI Aceh berbeda dengan DPP KNPI Aceh pimpinan Zikrullah Ibna. Menurut dia, kedua lembaga itu memang sama-sama memiliki SK Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI, tapi keduanya tidak saling berkaitan.
Wajahnya gusar ketika menjelaskan perbedaan antara KNPI Aceh yang dipimpinnya dengan DPP KNPI Aceh yang diketuai Zikrullah Ibna. “Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang dibentuk pada 1973 tetaplah satu,” sebutnya.
Sementara itu, lembaga yang terbentuk dari hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta pada Juni 2015 bernama Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI). “DPP KNPI bukan organisasi, tapi badan hukum,” dia menegaskan.
Baca: Duka Perempuan Aceh di Balik Kisruh KNPI
KNPI tak menentang lahirnya DPP KNPI. Melainkan tak setuju segala atribut KNPI bentukan 1973 dipakai oleh DPP KNPI yang ‘diciptakan’ Fahd el A Rafiq pada 2015. Pun, kata dia, semestinya DPP KNPI membangun kantornya sendiri.
Jamal mengungkap, KNPI Pusat terkait penjiplakan atribut itu sudah somasi DPP KNPI ke Polda Metro Jaya beberapa bulan lalu. Pihaknya berharap segera keluar hasilnya. “Jangan anak muda dibuat galau karena pengambil kebijakannya galau. Kita berharap pemerintah dan penegak hukum dapat arif dan bijaksana dalam megambil keputusan.”
Perbedaan antara dua kubu itu, Jamaluddin menambahkan, juga ditandai pada penyebutan KNPI Aceh di tingkat satu yang disebut Dewan Pengurus Daerah (DPD) I KNPI Aceh dan tingkat dua disebut DPD II KNPI kabupatan/kota.
Seharusnya, dia mengumbar, KNPI Aceh pimpinan Zikrullah Ibna melabelkan DPD I DPP KNPI Aceh untuk tingkat satu dan DPD II DPP KNPI untuk kabupaten/kota.
Masyarakat Aceh, menurut Jamal, cukup memahami kasus itu pada perbedaan mana tersebut. Dari situ, katanya, sudah menjelaskan KNPI dan DPP KNPI berbeda. “Kalau kita menuruti mereka (DPP KNPI), bisa kacau,” ujarnya.
Lebih dari itu, sambung Jamaluddin, KNPI Aceh bersikap, remote kepemudaan Aceh tak boleh dikontrol oleh penguasa di Jakarta.
Dia menduga, lahirnya DPP KNPI akibat adanya kepentingan suatu pihak untuk memecah-belah persatuan pemuda. “Jangan karena sedikit (mendapatkan) rupiah, kita (pemuda) mau diobok-obokkan,” tutur pria kelahiran Pidie itu.
Sekali lagi, mantan Ketua Generasi Muda Ormas GMKR Aceh 2012–2015 itu menyeru, siapapun di Jakarta baik individu maupun pejabat agar tidak mengobok-obok pemuda Aceh. “Kami memang miskin, tapi kami punya harga diri,” ketusnya.
Sejak Jumat terakhir 2016 hingga kini, segala kegiatan di Sekretariat DPD KNPI Aceh di ibukota provinsi memang terhenti. Namun pergerakan mereka tak padam. Di seluruh kabupaten/kota, sebut Jamaluddin, aktivitas DPD II KNPI Aceh tetap berjalan seperti biasa.
Baca: Kisruh KNPI, Polisi Hanya Usut Tindak Pidana
Terhentinya produktivitas kepemudaan adalah hal yang tak ingin Jamaluddin. “Kegiatan kepemudaan tidak boleh terbengkalai,” cetusnya.
KUBU ZIKRULLAH
Lain pula pandangan Zikrullah Ibna. Ketua DPP KNPI Aceh ini menyatakan, pihaknyalah yang pantas menduduki Sekretariat KNPI Aceh di Jalan T Hasan Dek, 166, Jambo Tape, Banda Aceh.
“Sebenarnya bukan mengambil alih, tapi menempati kembali rumah kami,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (06/01/17).
Upaya yang disebut ‘back to home’ oleh kubu KNPI Fahd A Rafiq itu bermula pada Kongres KNPI ke-14 di Papua, Februari 2015.
Menurutnya, ada satu pelanggaran dalam kongres tersebut. Ketua Demisioner DPP KNPI periode 2012–2015 Taufan EN Rotorasiko tak ditetapkan sebagai Ketua Majelis Pemuda Indonesia sesuai dengan bunyi Pasal 32 ayat 5 dalam Bab VIII AD/ART KNPI.
Pelanggaran itulah yang memicu digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) DPP KNPI di Jakarta pada Juni 2015. Kongres ini dihadiri 122 dari 152 organisasi kepemudaan (OKP) KP di bawah KNPI.
“Peserta KLB sama dengan peserta Kongres Papua, KNPI Aceh juga mengirim utusan pada KLB tersebut,” kata Zikrullah, “Artinya, sebenarnya pihaknya mendukung hasil KLB itu.”
KLB dua hari di awal Juni itu memberhentikan Rifai Darus dari Ketua Umum DPP KNPI hasil Kongres Papua dan menetapkan Fahd El Fouz A Rafiq sebagai Ketua Umum DPP KNPI periode 2015–2016.
Dia menjelaskan, KNPI Kongres Papua memang miliki SK Menkumham RI. Tapi sejak disahkan badan hukum DPP KNPI melalui SK Menkumham RI nomor AHU – 0010877.AH.01.07 tanggal 2 Februari 2016 dan SK Menkumham RI 1 Agustus 2016, KNPI Rifai Darus gugur otomatis.
Di berbagai daerah kemudian lahirlah Careteker Dewan Pengurus Daerah KNPI melalui SK DPP KNPI No Kep.21/DPP KNPI/XII/2015 tanggal 22 Desember 2015. Dari SK tersebut, Zikrullah Ibna diberi mandat melaksanakan Musdalub DPP KNPI Aceh dan KNPI pimpinan Jamaluddin dibekukan.
“Jadi DPP KNPI ini bukan tandingan, bukan lembaga baru,” imbuhnya.
Sejak itu pula, Zikrullah Ibna secara persuasif membicarakan ihwal pengalihan KNPI ke DPP KNPI. Di akhir Desember 2015, dia membahas persoalan itu dan rencana Musdalub DPP KNPI dengan Jamaluddin di Sekretariat KNPI Aceh.
Namun, menurut Zikrullah, Jamaluddin saat itu tengah persiapan menunaikan ibadah haji. Ketika Musdalub DPP KNPI Aceh dilangsungkan pada 20–21 Januari 2016, keduanya belum sempat tuntas membicarakan hal tersebut.
Musdalub itu sendiri menghasilkan pengurus DPP KNPI Aceh periode 2016–2019 dengan Zikrullah Ibna ditunjuk sebagai ketua secara aklamasi.
Demi menghindari dualisme, Zikrullah yang dipecat dari KNPI Aceh pada 19 Januari 2016, terus membujuk Jamaluddin agar mengakui DPP KNPI Aceh. “Namun hingga kini, belum ada dari pihak KNPI Aceh menemui kami,” katanya.
Pendudukan Sekretariat KNPI Aceh awalnya hendak dilancarkan usai pelantikan dan rakerda DPP KNPI Aceh pada September 2016, beber Zikrullah. Sudah setahun, pihaknya berkantor di warung kopi.
Selama itu pula, sebutnya, OKP yang tergabung di bawah DPP KNPI bersifat mbalelo karena belum memiliki anggaran. Namun sabar itu berakhir pada Jumat 30 Desember 2016.
Dia menegaskan, DPP KNPI Aceh, tak berani beraksi bila tak memiliki landasan hukum yang kuat. “Kami memiliki SKT kepengurusan KNPI sebelumnya yang terdaftar di Kesbangpol Pusat, sedangkan pihak Jamal tidak,” ungkap Zikrullah Ibna saat ditemui di sebuah warung kopi berbeda di Banda Aceh.
Yudi Syukran, Sekretaris DPP KNPI Aceh lalu memperlihatkan fotokopi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang dimaksud Zikrullah. SKT yang diperbarui setiap lima tahun sekali itu bernomor 01-00-00/0100/VI/2012 Kemendagri RI Dirjen Kesbangpol tertanggal 18 Juni 2012. Dalam SKT itu tertera nama DPP KNPI, bukan KNPI.
Menurut Zikrullah, SKT itu hanya dimiliki oleh kepengurusan DPP KNPI pimpinan Fahd El Fouz A Rafiq hasil Kongres Luar Biasa, tidak pada KNPI pimpinan Rifai Darus hasil Kongres Papua.
“Jika kami memang berbeda, jika kami menjiplak atribut KNPI, silakan pihak Jamal (KNPI Aceh_red) menggugatnya ke lembaga yang layak, ke pengadilan TUN,” ujar Kader Golkar itu.
MERASA DIFITNAH
Pada Jumat pagi akhir tahun lalu, seratusan anggota DPP KNPI Aceh mendatangi Sekretariat KNPI Aceh. Kebetulan hari itu, sejumlah perwakilan DPD II KNPI kab/kota menginap di sekretariat sebagai persiapan acara esoknya.
Keributan antara kedua kubu sempat terjadi hingga diredam olek kepolisian. Sabtu malam, perseteruan memuncak, kala kedua perwakilan KNPI Aceh bertemu muka di halaman sekretariat. Sekelompok perempuan yang merupkan peserta kursus menjahit ikut hadir.
“Jangan jadikan peserta pelatihan itu sebagai tameng, seolah-olah kami menghambat kegiatan pro-rakyat,” Zikrullah ketus.
Menurutnya, peserta kursus di Sekretariat KNPI Aceh menggunakan mesin jahit portabel. Mesin itu mudah dipindahkan dan hanya membutuhkan colokan listrik.
“Jika aksi kami menunda kegiatan mereka, silakan bawa mesin itu ke tempat lain. Silakan pakai tempat di Kantor Pemuda Pancasila atau Gedung Pemuda,” ujarnya.
Dia juga bantah aksi ‘menududuki’ Sekretariat DPP KNPI Aceh diduga ada campur tangan pusat. Apalagi sampai membiayai massa. Semua peserta—100 orang—aksi dari kubu Zikrullah dikatakannya ikhlas datang tanpa dibayar satu rupiah pun.
“Jangan memposisikan saya seakan mengobok-obok pemuda Aceh. Justru pencerdasan ini yang ingin saya tunjukkan. Saya takkan berhenti sampai perjuangan ini usai. Masyarakat harus tahu, ini duduk persoalannya,” katanya.
Dia menyatakan, jabatan Ketua DPP KNPI Aceh, bukanlah untuk mencari proyek dari pemerintah. Namun di sisi lain, ia mengharapkan Pemerintah Aceh dapat bijak memposisikan KNPI mana yang berhak dipercayakan meningkatkan kapasitas pemuda Aceh.[]
Belum ada komentar