Solusi Salah Kaprah Pergub APBA

Rapat Anggota DPR Aceh (Foto Istimewa)
Rapat Anggota DPR Aceh (Foto Istimewa)

Wacana mem-Pergub-kan APBA 2017 dinilai sebagai solusi salah kaprah atas telatnya pengesahan anggaran daerah. Selain belum memenuhi aturan, juga merugikan masyarakat Aceh.

Sehari menjelang tutup tahun 2016, Plt Gubernur Aceh Soedarmo membuat pernyataan mengejutkan. Dalam keterangannya ke media, ia menyatakan Pemerintah Aceh akan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2017 dengan Peraturan Gubernur (Pergub). Penetapan ini disebutnya sebagai konsekuensi logis molornya pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2017 oleh DPRA.

Dalam penjelasannya, Soedarmo menyatakan jadwal yang diinginkan legislatif meleset jauh dari keinginannya. Ia meminta, pada tanggal 4 Januari KUA PPAS sudah bisa ditandatangani dan dikirimkan ke Mentri Dalam Negeri.

Soedarmo buang badan atas penyebab keterlambatan ini. Kata Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri ini, hal itu keputusan terakhir yang harus ia ambil. Sebabnya, ia tak ingin APBA telat disahkan yang berdampak tertundanya pelayanan kepada masyarakat.

Namun, sejumlah pihak menyangsikan keterlambatan ini merupakan mutlak kesalahan DPRA. Eksekutif juga dinilai berperan besar dalam keterlambatan tersebut.

Penolakan APBA di-Pergub-kan datang dari berbagai kalangan, terutama aktivis dan mahasiswa. Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Banda Aceh ikut menentang kebijakan Plt Gubernur Aceh yang mengesahkan APBA 2017 melalui instrumen Pergub. Menurut mereka, APBA 2017 harus dibahas bersama DPRA dan disahkan melalui Qanun Aceh.

Penolakan tersebut didasari pada beberapa hal. Di antaranya, secara administrasi patut diduga birokrasi Pemerintahan Aceh tidak siap dan cukup kapabel dalam menyusun KUA PPAS, sehingga penyerahannya terlambat.

“Atas dasar itulah, kami melihat bahwa rakyat Aceh telah dirugikan dan telah bersepakat untuk mendesak DPRA ikut menentukan sikap yang sama, yakni menolak Pergub APBA 2017,” kata Abrar M Yus, Ketua DPC Pospera Banda Aceh.

Berdasarkan penelesuran Pikiran Merdeka, molornya pembahasan itu karena Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) baru menyerahkan draft KUA PPAS kepada DPRA pada 20 Desember. Pagu Rancangan APBA 2017 sekitar Rp14,5 triliun. Sedangkan target pendapatan Rp14,2 triliun. Tahun anggaran sebelumnya, pagu berjumlah Rp12,874 triliun.

Namun, pada 28 Desember Sekretaris Daerah Aceh Dermawan menyerahkan dokumen KUA PPAS 2017 kepada Ketua DPR Aceh Teungku Muharuddin. Lalu DPR Aceh menetapkan jadwal pembahasan RAPBA 2017. Pembahasan plafon KUA-PPAS dimulai pada 28 Desember 2016 hingga 25 Januari 2017.

Baca : Soedarmo Mainkan ‘Lagu Lama’ Jakarta

“Jika mengacu kepada jadwal yang diajukan DPRA, semua program dalam APBA paling cepat baru bisa direalisasikan pada Maret atau April 2017,” ujar Plt Gubernur Soedarmo, 28 Desember lalu.

“Membahas anggaran yang mencapai Rp14 triliun lebih, tidak mungkin secepat itu, seperti jadwal yang diajukan eksekutif,” balas Ketua DPR Aceh, Teungku Muharuddin.

Kepala Ombusdman Aceh Dr Taqwaddin SH mengatakan waktu yang tersedia tidak cukup untuk mengejar pembahasan RAPBA 2017 tepat waktu. Menurutnya, keterlambatan ini karena TAPA telat menyerahkan kembali draft KUA PPAS ke DPR Aceh.

“Memang benar mulanya pada Juli 2016 draf tersebut pernah diserahkan ke DPRA, tapi mengingat berlakunya PP No.18 Tahun 2016 yang berdampak pada perubahan Sususnan Organisasi Tata Kerja pada SKPA maka draft tersebut ditarik kembali oleh eksekutif untuk direvisi,” ujar Taqawaddin, Sabtu pekan lalu.

Selanjutnya, hasil revisi KUA, PPAS, RAPBA baru diserahkan kembali ke DPRA pada 20 Desember 2016 dan oleh Sekwan diserahkan ke Ketua DPRA pada Rabu  21 Desember 2016. “Jadi, keterlambatan itu menurut saya oleh pihak eksekutif,” sambungnya.

Menurut dia, alasan terlambat dan variabel yang mempengaruhi keterlambatan tersebut juga beragam. Namun, kewenangan proses penyusunan perencanaan dan revisi RAPBA masih kewenangan Plt Gubernur bersama TAPA.

Wacana keputusan Soedarmo mempergubkan APBA 2017 juga tak sepenuhnya sesuai dengan aturan. Merujuk kepada aturan Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang teknis penyusunan APBD disebutkan, hal itu bisa dilakukan jika gubernur dan DPRA tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 hari sejak disampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBA Tahun Anggaran 2017 oleh kepala daerah kepada DPRA.

Selain itu, dalam menyusun dan mengeluarkan Pergub tentang APBA paling tinggi sebesar angka APBA tahun sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan. Hal itu juga baru dapat ditetapkan setelah memperoleh pengesahan Menteri Dalam Negeri.

Untuk memperoleh pengesahan, rancangan tersebut beserta lampirannya disampaikan paling lama 15 hari terhitung sejak DPRA tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBA 2017.

Menurut Taqwaddin, berdasarkan runutan kejadian ini, ia menilai bukan solusi tepat jika menerbitkan Pergub APBA. Apalagi jika APBA di-Pergub-kan akan berimplikasi pada menciutnya pendapatan Aceh mencapai Rp2 triliun.

Baca: Kuasa Jakarta

Hal ini juga disampaikan Ketua Pospera Banda Aceh Abrar M Yus. Jika penetapan anggaran melalui Pergub, kata dia, maka tidak terdapat penambahan anggaran pendapatan daerah karena hanya mengesahkan isian anggaran tahun sebelumnya dan tidak dibahas bersama DPRA. “Ini adalah contoh yang tidak baik yang dipertontonkan pada keberlangsungan pemerintahan Aceh ke depan,” tegas Abrar.

Di sisi lain, Taqwaddin menyebutkan, secara filosofi dalam negara demokrasi, maka kekuasaan tertinggi ada pada rakyat yang diimplementasikan melalui lembaga perwakilan rakyat. Sehingga, arah dan bagaimana mewujudkan cita, visi, misi, aksi dan pembiayaan negara serta pemerintahan harus melalui persetujuan DPR.

“Karenanya, untuk mengatur bagaimana pembiayaan negara atau daerah meliputi pendapatan dan pembelajaan harus diatur dengan produk legislasi, yaitu UU untuk tingkat nasional dan Perda atau qanun untuk otonomi provinsi atau kabupaten/kota. Mengacu pada teori ini, maka idealnya APBA harus diatur dengan qanun,” terangnya.

Selain itu, kata dia, saat ini pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Aceh sangat tergantung pada APBA. Karenanya, APBA memiliki multiplier effect bagi kinerja pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.

“Mengingat begitu strategisnya APBA bagi masyarakat Aceh dikarenakan minimnya arus investasi dan dana swasta, maka tepat tidaknya APBA sangat berpengaruh bagi kehidupan rakyat Aceh. Karena itu, saya selaku Kepala Ombudsman Provinsi Aceh mengharapkan agar APBA tepat waktu, tepat sasaran yang pro publik, dan tepat pertanggungjawabannnya,” kata dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.

Atas nama kepentingan rakyat, ia juga mendesak adanya keharmonisan antara eksekutif dan legislatif. Untuk itu, semestinya saat ini tak perlu lagi mempermaslahkan siapa salah, legislatif atau eksekutif. Ia meminta semua pihak mendorong agar DPRA dan TAPA untuk mempercepat Rancangan Qanun APBA 2017 agar segera bisa disepakati, disetujui, dan disahkan.

“Hal ini penting, agar pembangunan, perekonomian, kesejahteraan rakyat, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan tidak terhambat gara-gara belum disahkannya APBA,” katanya.

Ia berharap, APBA yang sedang dibahas ini dapat disahkan paling telat pada akhir Januari 2017. “Jangan sampai lewat. Jika lewat, saya mendukung Plt Gubernur mempergubkan APBA dengan mengacu pada pembahasan terakhir yang disepakati,” kata Taqwaddin.

Sementara Wakil Ketua DPRA Dalimi kepada Pikiran Merdeka menegaskan, pihaknya sudah mencapai kata sepakat dengan eksekutif untuk membahas ulang RAPBA 2017. Menurutnya, wacana Plt Gubernur untuk mem-Pergub-kan APBA dipastikan tidak terjadi.

“Kedua belah pihak sudah komit menyelesaikan pembahasan plafon KUA PPAS dengan segera. Pada tanggal 17 Januari kita tergetkan selesai,” pungkas politisi Partai Demokrat ini.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Protes PT SCA, Warga Kulee Blokir Jalan
Sejumlah warga Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Pidie, memblokir jalan sebagai bentuk memprotes atas larangan penggarapan lahan oleh perusahaan, Sabtu (16/9).(Pikiran Merdeka/Amir Sagita)

Protes PT SCA, Warga Kulee Blokir Jalan