Lagu lama Jakarta yang otoriter coba diterapkan Soedarmo di Aceh. Untung saja, Pergub APBA 2017 ramai-ramai ditolak publik.
Polemik pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2017 masih terus berlanjut. Sejak dua pekan terakhir, persoalan ini terus menggelinding bak bola salju. Puncaknya, Plt Gubernur Aceh Soedarmo menyatakan akan melewatkan pembahasan APBA bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Ia mem-Pergub-kan APBA 2017 karena tak mencapai kata sepakat dengan legislatif.
Namun, selang beberapa hari, Soedarmo kembali meralat keputusannya. Pemerintah Aceh akhirnya sepakat dengan DPRA untuk menjadwal ulang pembahasan RAPBA 2017.
Berdasarkan draft KUA PPAS, Pagu Rancangan APBA 2017 sekitar Rp14,5 triliun. Sedangkan target pendapatan Rp14,2 triliun. Tahun anggaran sebelumnya, pagu berjumlah Rp12,874 triliun. Andai saja APBA 2017 jadi ditetapkan melalui Pergub, maka akan terjadi defisit hampir mencapai Rp2 triliun.
Sebenarnya, keputusan untuk mem-Pergub-kan APBA 2017 mendapat dukungan sekaligus penentangan dari sejumlah elemen masyarakat. Pihak yang mendukung Pergub beralasan hal itu untuk mempercepat proses pembangunan Aceh selama setahun kedepan. Jika APBA 2017 tertunda maka akan berimbas kepada proyek yang tidak terealisasi dan mengakibatkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran atau SiLPA yang sangat besar.
Namun, mereka yang menentang juga tak kalah banyak. Alasannya, sudah pasti jika APBA 2017 di-Pergub-kan maka Aceh mengalami kerugian karena harus mengikuti jumlah anggaran tahun sebelumnya. Selain itu, fungsi dewan menjadi mandul. Posisi anggota DPRA sebagai representasi pemilih atau rakyat tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Sebenarnya, upaya mem-Pergub-kan APBA yang baru saja diserahkan ke DPRA tak sepenuhnya sejalan dengan Permendagri No.52/2015. Upaya Perguub tersebut belum mencapai syarat karena belum mencapai 60 hari sejak dibahas bersama antara legislatif dan eksekutif.
Ada dugaan bahwa kepentingan Plt Gubernur Aceh Soedarmo sangat kental terkait penetapan APBA melalui Pergub. Ia terkesan tidak mau ‘ketinggalan kereta’ karena masa tugasnya berakhir pada 11 Februari 2016.
Sayangnya, cara yang dimainkan menyerupai ‘lagu lama’ Jakarta yang mengedepankan sikap otoriter terhadap daerah. Seolah, Pemerintah Pusat melalui tangannya Plt Gubernur Aceh bisa mengintervensi lebih jauh terkait penetapan anggaran daerah.
Di sisi lain, keterlambatan pembahasan RAPBA seakan menjadi kutukan bagi Aceh. Tiap tahun, kondisi berulang dan belum menunjukkan perubahan. Akibat pengesahan terhambat, Aceh kembali dibayangi ancaman terlambatnya proses pekerjaan yang didanai APBA.
Baca: Solusi Salah Kaprah Pergub APBA
Sejak 2004, RAPBA selalu telat dibahas dan disahkan. Bahkan, APBA 2007 sempat disahkan pada bulan Juni 2017. Sementara tahun lalu, APBA 206 disahkan pada 30 Januari 2016.
Padahal, keterlambatan pengesahan APBA merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Sebab, pengesahan APBA paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Selain itu, keterlambatan tersebut semakin memperburuk upaya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi rakyat Aceh.[]
Nyan cuma geu gertak sambai le Gubernur. DPRA jangan sampai memposisikan diri sebagai BAWAHAN PEMERINTAH. DPRA harus kritis, jangan sampai merugikan rakyat.