Bank Aceh Tak Berkontribusi Bagi Perekonomian Aceh

Nasabah Bertransaksi di Teller Bank Aceh Syariah
Bank Aceh Tak Berkontribusi Bagi Perekonomian Aceh

Bank Aceh memperoleh pemnempatan dana pemerintah daerah, tidak digunakan untuk memacu perekonomian Aceh. “Bank Aceh malah sama sekali tidak ambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi Aceh,” kata Ali Amin SE MSi Ak, pengamat ekonomi di Banda Aceh.

Menurutnya, pemberian kredit konsumtif kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencapai sebesar 90 persen dari total pengucuran kredit menunjukkan bahwa Bank Aceh telah melenceng dari visi awal berdirinya bank tersebut.

“Bank Aceh sudah menyimpang dari visi di awal pendiriannya. Pada awal pendiriannya, diamanahkan 20 persen kredit harus diberikan kepada pelaku UMKM. Kenyataannya, dari total kredit yang dikucurkan, hanya 5 persen untuk sektor UMKM,” terang Ali Amin, Kamis pekan lalu.

Dengan kepemilikan saham yang dimiliki Gubernur Aceh sebesar 63,12 persen dan bupati/walikota sebesar 36,88 persen, kata dia, seharusnya Bank Aceh ikut membangun perekonomian Aceh. “Tapi, dengan penempatan dana dari pemerintah hingga 70 persen justru Bank Aceh tidak produktif,” sebutnya.

Ali Amin menuturkan, porsi pemberian kredit konsumtif kepada pegawai hingga 90 persen dari total pemberian kredit, tentu tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Ini dikarenakan debitur menggukan kredit untuk kebutuhan konsumtif, seperti membeli motor, mobil, rumah dan kebutuhan konsumtif lainnya. “Sedikit sekali bahkan hampir tidak ada untuk memacu perkomomian di Aceh. Tidak ada perputaran uang,” katanya.

Baca: Bank Aceh Mempermudah Kredit Konsumtif, Kredit Produktif di Persulit

Dalam jangka panjang, tambah dia, kondisi itu membahayakan Bank Aceh. “Mungkin saat ini pegawai bank hingga direksi sangat menikmati dengan sistem yang demikian,” ujar Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Aceh ini.

Dengan pola manajemen saat ini, Ali Amin berani mengatakan siapapun yang memimpin Bank Aceh pasti mampu membuat bank itu meraih keuntungan besar. “Namun, keberadaan bank itu tetap saja tidak memberi kontribusi apa-apa bagi pertumbuhan ekonomi Aceh,” katanya.

Untuk memurnikan kembali visi Bank Aceh sebagaimana saat pembentukannya dulu, kata Ali Amin, mereka harus beroreontasi pada kredit UMKM. “Hal ini dalam rangka menciptakan peluang ekonomi yang besar di Aceh. Memang beresiko, namun ini bagian dari misi kita,” ujarnya.

Target dari direksi sekarang ini adalah agar Bank Aceh membukukan laba besar. “Mereka kejar itu dengan mengabaikan tujuan utama pembentukan bank tersebut,” katanya.

Jika orientasi utama adalah mengincar laba sebesar-besarnya, tambah Ali Ali Amin, berarti para direksi Bank Aceh menganut paham kapitalis murni. “Mereka mencari aman dan berpikiran kapitalis, bahwa dengan laba itulah menunjukkan prestasi. Itu tidak betul. Itu cara berpikir Yahudi,” tegasnya.

Ia juga menyoroti penempatan uang pada Bank Indonesia dalam bentuk SBI senilai Rp2 tiriliun dan deposito pada bank lain mencapai Rp3,1 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan total kredit UMKM yang hanya berkisar ratusan miliar rupiah. “Ini memang prilaku Bank Aceh sejak dulu, karena tidak ingin ambil resiko,” katanya.

Hal itu dikarenakan orientasi Bank Aceh hanya porfit laba. “Bila uang di-SBI-kan, selisihnya cukup besar dan tak punya resiko,” kata Ali Amin.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait