Bank Aceh makin identik dengan peternak uang. Andalkan kredit konsumtif, bunga SBI dan bunga deposito di bank lain.
Memperhatikan neraca keuangan dan laporan laba-rugi yang dipublikasi Bank Aceh hingga akhir tahun 2015, bank milik rakyat Aceh ini lebih fokus menyalurkan kredit kepada pegawai negeri sipil. Pinjaman konsumtif mencapai Rp11,7 triliun atau di atas 90 persen dari total pinjaman yang dikucurkan.
Sedangkan kredit properti yang diberikan hanya senilai Rp235 miliar dan untuk sektor Usaha Mikro dan Kredit Menengah (UMKM) hanya Rp764.202 miliar atau sekitar 6 persen dari total pinjaman. Angka tersebut lebih rendah dari biaya tenaga kerja, promosi dan biaya lainya yang dihabiskan Bank Aceh mencapai Rp875,5 miliar.
Baca: Bank Aceh, Konsumtif Dipermudah Produktif Dihambat
Jumlah kredit properti dan UMKM pada 2015 bahkan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, Bank Aceh menyalurkan UMKM sebesar Rp813 miliar dan kredit properti sebesar Rp338 miliar. Sementara kucuran kredit konsumtif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada 2014 senilai Rp10,2 triliun menjadi Rp11,7 triliun pada 2015.
Kondisi tersebut menunjukkan Bank Aceh sama sekali tidak mengambil peran dalam mendongkrak perekonomian masyarakat Aceh. Sebagai bank milik pemerintah daerah, seharusnya berdiri di garda depan mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh dengan memperbesar porsi kredit di sektor UMKM. Tapi malah sebaliknya, memposisikan diri sebagai lintah darat yang mematikan perekonomian masyarakat Aceh.
Padahal, semua dana Pemerintah Aceh yang mencapai Rp12 triliun disalurkan melalui Bank Aceh. Belum lagi dana pemerintah kabupaten/kota di seluruh Aceh dan dana lainnya dari Pemerintah Pusat yang disalurkan melalui Bank Aceh.
Dengan anggran daerah tersebut, alih-alih mengalokasikan dana untuk mendukung perekonomian, Bank Aceh malah membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau surat berharga yang dikeluarkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga. Dalam laporan akhir 2015 itu, Bank Aceh membeli SBI Rp2 triliun. Mereka juga mendepositokan uang pada bank lain yang mencapai Rp3,1 triliun.
Mengharapkan penghasilan dari bunga SBI dan deposito bank lain, tentu Bank Aceh sama saja beternak uang. Memang tidak salah secara aturan, menyimpan uang di Bank Indonesia dan di bank lain sebagai dana simpanan cadangan Bank Aceh. Namun, mereka lebih terkesan mengambil posisi aman ketimbang mengambil peran dalam mendongkrak perekonomian Aceh.
Baca: Bank Aceh Tak Berkontribusi Bagi Perekonomian Aceh
Andai saja uang sebesar Rp5 triliun lebih itu disalurkan untuk kredit usaha dengan tingkat suku bunga 12 persen, tentu tingkat penghasilan yang diperoleh menjadi lebih besar karena tingkat suku bunga SBI hanya 7 persen. Manfaat bagi sektor usaha juga lebih besar dan sangat membantu pertumbuhan ekonomi Aceh.
Saat ini, hampir seluruh pasokan kebutuhan masyarakat Aceh berasal dari Medan, Sumatera Utara. Ketergantungan ini tidak lepas dari sedikitnya para pengusaha yang muncul di Aceh akibat kesulitan mendapat suntikan dana dari bank milik pemerintah daerah.
Kerjanya makan bunga saja, padahal jelas sangat haram dalam syariat, apalagi berada di negeri syariat. Riba dosa terkecil seperti menzinai ibu kandung.
Banknya para keluarga.. Khak
Nyali nya ciut,, ini bukan bank rakyat aceh tapih pantas nya bank pegawai aceh
Syariat diaceh cuma berlaku bagi rakyat kecil. jika penguasa berbicara, yg haram bisa jadi halal, itu lah aceh lon sayang
Dengan keuntuungan yg besar setiap tahunnya seharusnya bunga pinjaman yg diberikan kepns itu bs diturunkan shg bs bantu pns,sgt berat x bunga kredit skrg tp apegawai sll terjerat dgn pinjaman
Ini potret negri syariah kita, penerapan syariah msh pada kegiatan2 tertentu saja dan tdk menyeluruh, seharusnya hrs sampai pd praktek perbankan, apalagi bank BPD adalah bank rakyat aceh, dibangun u mendongkrak perekonomian aceh, bkn sebaliknya. ..ayo anggota dewan kita mana janjimu membangun dan mensejahterakan rakyat aceh. .
Ini baru berita… Mantap