Persoalan hotel megah milik Illiza Sa’aduddin Djamal berlanjut. Pengeluaran IMB hotel itu diduga cacat prosedural.
Bangunan hotel empat lantai milik Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal terus menuai polemik. Pasalnya, bangunan enam pintu di Jalan Gabus, Desa Bandar Baru, Lampriek itu hingga kini masih belum jelas IMB-nya. Pejabat berwenang terkesan menutupi informasi tersebut.
Kepala Kantor Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu (KPPTSP) Banda Aceh Dra Salmiah yang dihubungi Pikiran Merdeka, Jumat 31 Maret 2016, mengaku masih belum memeriksa status Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel milik Walikota Banda Aceh itu. Berdasarkan pengakuan bawahannya, kata dia, bangunan tersebut sudah memiliki IMB. Namun, ia mengaku belum melihat dokumen IMB tersebut.
“Maaf ya, saya belum bisa tunjukkan IMB hotel tersebut. Karena kami harus membongkar dokumen lama. Data itu belum diinput secara online,” ujar Salmiah di ujung telepon.
Salmiah menuturkan, dirinya masih sibuk dengan berbagai pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantor. Karena itu, hingga kini ia belum punya waktu untuk mengecek status IMB hotel tersebut yang disinyalir cacat prosedural.
Karena itu, Salmiah mengaku belum bisa memberi komentar banyak terkait persoalan itu. Ia berdalih butuh waktu untuk mengecek secara manual dokumen kepemilikan dan IMB hotel tersebut.
Meski belum melihat dokumen tersebut, Salmiah meyakini bangunan tersebut telah mengantongi IMB. Andai nantinya ia menemukan dokumen IMB milik atasannya itu, kata Salmiah, pihaknya tetap tidak dapat memperlihatkan dokumen tersebut kepada media. “Itu data pribadi ya dek. Jadi saya tak boleh memperlihatkannya kepada media,” ujar Salmiah.
Alih-alih menunjukkan dokumen dimaksud, Salmiah malah merujuk kepada komentar salah seorang mantan pegawai KP2TSP di media sosial yang menyatakan bahwa IMB hotel tersebut sudah lama diterbitkan. “Saya juga sudah baca di facebook pada akun Aceh, mantan pegawai yang kerja di sini dulu memastikan IMB untuk hotel itu sudah diterbitkan. Jadi, saya kira persoalan ini sudah jelas dan tak ada masalah lagi,” tegas Salmiah.
Saat ditanyakan apakah boleh IMB untuk hotel dikeluarkan sebelum memiliki lahan belum dipenuhi pihak pengelola, Salmiah mengelak menjawabnya.
Sebelumnya, pada Kamis 24 Maret lalu, Salmiah menyatakan bahwa setiap perubahan atau alih fungsi bangunan harus mengubah IMB. “Itu kententuannya. Karena ini kan menyangkut jiwa manusia,” tegas Salmiah.
Dalam kasus pengalihan IMB semacam itu, kata Salamah, sebelum diterbitkannya IMB menjadi hotel, terlebih dahulu tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Banda Aceh memeriksa kelayakan struktur dan perhitungan kontruksi bangunan tersebut.
Selain itu, sebutnya, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti analisis dampak lingkungan (Amdal) atau UPL dari Badan Lingkungan Hidup serta rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terkait penanggulangan bahaya kebakaran dan kajian parkir untuk bangunan yang akan memberikan dampak kemacetan lalu lintas yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan.
“Nantinya, jika tim teknis PU sudah menilai struktur dan kontruksi tersebut, baru direkomendasikan kepada KP2TSP. Kemudian kami (KP2TSP) menerbitkan IMB baru atas bangunan hotel tersebut,” ujar Salmiah yang mengaku sudah dua tahun menjabat kepala di kantor itu.
Jika ada pengusaha yang tak mengurus IMB pengalihan dari bangunan sebelumnya, kata dia, hal itu di luar tanggungjawab pihaknya. “Kita ini daerah rawan bencana, jadi tak boleh sembarangan dalam pembangunan, apalagi bangunan publik yang menyangkut hidup orang banyak,” tegasnya.
Dia menekankan, sebelum memulai pembangunan hotel yang merupakan alih fungsi dari ruko mestinya pemilik bangunan harus mengubah IMB tersebut. “IMB ini kan izin membangun, beda dengan izin operasional. Makanya jika ingin membangun, ubah dulu IMB-nya.”
Pernyataan Salmiah terkait persayaratan yang harus dipenuhi oleh pengelola hotel untuk mendapatkan IMB, salah satunya memiliki lahan parkir, berbeda dalam pelaksanaannya. Hal itu merujuk pengakuan Illza selaku pemilik hotel yang menyatakan dirinya sudah mengantongi IMB sejak lama, padahal baru dua bulan lalu memiliki lahan parkir untuk hotel tersebut.
Dari penelusuran Pikiran Merdeka, lahan parkir di belakang hotel tersebut yang menghadap Jalan Pari baru ditimbun dua bulan lalu. Keuchik Bandar Baru, Lampriek, Mahyuni, juga mengakui dirinya mengetahui bangunan tersebut dialihfungsikan menjadi hotel setelah pengelola hotel menyampaikan surat pinjam pakai lahan di belakang hotel kepada pihak desa.
Dalam surat tersebut, jelas Mahyuni, tertulis perjanjian pinjam pakai. Lahan itu diketahui pemiliknya kini menetap di Jakarta. “Ini tanah, perjanjiannya pinjam pakai. Jadi, kalau bulan depan diambil oleh pemilik tanahnya juga sah,” beber keuchik.
Persoalan IMB hotel miliki Illiza Sa’aduddin Djamal juga ditanggapi pengiat LSM Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (Yara). “Sangat wajar jika sebagian masyarakat meragukan izin pembangunan hotel tersebut, karena di lokasi pembangunan tidak terpasang plang IMB,” kata Ketua Yara Safaruddin SH.
Karena itu, lanjut dia, pihak KP2TSP perlu segera menindaklanjuti informasi tersebut agar tidak merugikan pribadi Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal selaku pemilik hotel. “Pihak KP2TSP jangan hanya bilang-bilang saja ada izin, tetapi perlihatkan dokumen kepada media agar bisa diketahui masyarakat,” imbau Safaruddin.
Ia juga menyayangkan sikap Kepala KP2TSP yang menggunakan informasi di media sosial facebook sebagai rujukan pihaknya. “Ini menunjukkan tidak profesionalnya pejabat tersebut,” katanya.
Safaruddin mendesak pihak KP2TSP agar lebih terbuka terkait izin pembanguan hotel itu. Andai sudah mengantongi IMB, KP2TSP juga harus menunjukkan kelengkapan persyaratan administrasi dan teknis penerbitan IMB tersebut. “Jika informasi terkait IMB hotel itu terkesan ditutupi, malah semakin menambah kecurigaan masyarakat terhadap izin bangunan hotel itu,” katanya.
Ia menduga, keengganan pihak KP2TSP untuk tidak membuka dokumen tersebut karena adanya kesalahan prosedural dalam penerbitan IMB. Makanya wajar pejabat KP2TSP sekarang tak berani membuka dokumen tersebut karena bisa menjadi blunder bagi pemilik hotel yang merupakan atasannya.
“Jika memang IMB tersebut sudah ada, kenapa tak berani membukanya? Apakah ada cacat prosedural dalam penerbitannya? Kita perlu tau itu,” sambung pria yang berprofesi sebagai advokat ini dengan nada bertanya.
Safaruddin juga melihat ada beberapa kejanggalan terkait perencanaan pembangunan hotel tersebut. Di antaranya areal tanah di belakang hotel yang dijadikan lahan parkir, baru belakangan dipinjam-pakai. Sementara bangunannnya sudah lama dikerjakan.
Dalam syarat pengurusan IMB, tambah Safaruddin, tentunya ada persyaratan administrasi dan persyaratan teknis yang harus dilengkapi pemilik hotel. Misalnya harus ada denah bangunan, kemudian perhitungan konstruksi oleh konsultan perencana. “Saya dengar hotel itu empat lantai, berarti bukan bangunan sederhana. Seharusnya juga ada laporan penyelidikan tanah atau sondir yang sudah disahkan oleh lembaga penyelidikan tanah,” katanya.
Jika terbukti tak mengantongi izin, Safaruddin menantang pihak Satpol PP Kota Banda Aceh untuk menertibkan bangunan yang akan dijadikan hotel tersebut. “Satpol PP harus berani menertibkan bangunan itu meski pemiliknya Walikota Banda Aceh sekarang, ” tegas Safaruddin. []
Belum ada komentar